BERITA

Desa Fiktif, KPPOD: Tanggung Jawab Bupati

""Jadi penanggungjawab akhir proses di tingkat kabupaten itu adalah bupati, termasuk ketika dia kemudian mengusulkan desa-desa penerima.""

Astri Yuanasari

Desa Fiktif, KPPOD: Tanggung Jawab Bupati
Ilustrasi: Presiden Jokowi acara sosialisasi dana desa di Kabupaten Trenggalek, Jatim, Jumat (04/10/19). (Setkab)

KBR, Jakarta-  Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai penemuan desa fiktif yang menerima aliran dana desa merupakan indikasi adanya praktek mafia di lingkungan pemerintah kabupaten. Robert menyebut, nominal dana desa yang cukup menggiurkan, menyebabkan cara apapun dilakukan demi mendapatkan aliran dana desa tersebut.

Kata dia, proses pembentukan desa dan pencairan dana desa cukup rumit dan ketat, jadi jika ada desa fiktif penerima dana desa, artinya terjadi korupsi yang sudah terencana.

"Sebenarnya kalau mau ngomong ini seperti korupsi. Ini seperti sudah praktek berbulu rente. Mau mendapatkan dana negara dengan segala cara. Karena memang dana desa ini menggiurkan. Banyak usaha memekarkan desa, atau bahkan yang tadinya sudah kelurahan, mau berganti status untuk jadi desa, turun derajat, karena kelurahan itu pasti lebih maju, lebih modern, lha kok kemudian jadi desa, itu gimana ceritanya. Tapi fakta lapangan banyak yang melakukan hal-hal seperti ini," kata Robert kepada KBR, Rabu (6/11/2019).


Robert mengatakan, kurangnya pengawasan dan koordinasi dari pemerintah pusat juga bisa menjadi penyebab lolosnya desa fiktif tersebut sebagai penerima bantuan dana desa. Menurutnya, verifikasi yang dilakukan Kemenkeu atas pengalokasian dana desa masih lemah. Kata dia, seharusnya dalam pengalokasian dana desa, Kemenkeu berbasis data yang sudah mempunyai kode wilayah di Kemendagri, dan tidak percaya begitu saja dengan data yang diajukan Kabupaten.


Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, untuk mencegah hal serupa berulang, perlu pengetatan pengawasan mulai dari tingkat Kabupaten. Selain itu, pemerintah pusat perlu mengevaluasi pengalokasian, penyaluran, hingga penggunaan dana desa. Namun jika masih terjadi, yang patut dijatuhi sanksi adalah Bupati sebagai penanggungjawab akhir di tingkat Kabupaten.


"Bupatinya pasti, karena bupatinya yang mengusulkan. Jadi penanggungjawab akhir proses di tingkat kabupaten itu adalah bupati, termasuk ketika dia kemudian mengusulkan desa-desa penerima. Karena kan yang diusulkan ke Kemenkeu kan bukan hanya kabupatennya, tapi juga jumlah desa di dalamnya. Nah, jumlah ini ketika misalnya disebutkan 20, 20 itu harus clear and clean bahwa memang desa ini adalah desa yang legal, yang sah, yang punya Perda dasar pembentukannya yang kemudian diajukan," imbuhnya.
 

Sebelumnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengklaim sudah menelusuri desa fiktif yang diduga menerima aliran dana untuk program dana desa. Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan mengatakan, penelusuran tersebut merupakan tindaklanjut setelah sebelumnya menerima laporan data desa fiktif dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Ketika itu disampaikan oleh pimpinan KPK, ada 56 desa fiktif. Kami catat, kami langsung bergerak, kami tindak lanjut. Tanggal 15-17 Oktober, tim kami dari Ditjen Bina Pemerintahan Desa turun ke Sulawesi Tenggara bersama aparat pemerintah provinsi juga ke kabupaten, kita kumpulkan 56 desa yang dimaksud fiktif,” kata Nata saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/11/2019).

Dirjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan menyebutkan, hasil verifikasi data dari KPK dengan lokasi langsung, hanya ada 4 desa yang merupakan desa fiktif. Pemerintah beralasan keempat desa yang dikatakan fiktif tersebut karena tidak ada dalam peraturan daerah.

“Jadi disinyalir perda tersebut ada kekeliruan. Apapun itu, Kemendagri kalau menemukan secara data dan administrasi ada kekeliruan kita cabut,” kata Nata

Kemendagri mengklaim dana desa di keempat desa fiktif itu sudah dihentikan penyalurannya sejak   2017. Kata dia, pemerintah tengah melanjutkan investigasi terkait dana desa fiktif tersebut. 

“Jika kami pemerintah daerah, Kemendagri dan Polda Sulawesi  Tenggara menyatakan itu adalah kekeliruan, maka akan kami cabut keberadaan desa tersebut,” ujarnya.

Di 2019, Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran dana desa sebesar Rp70 triliun untuk 74.597 desa, atau setiap desa mendapatkan anggaran sekitar Rp900 juta.



Editor: Rony Sitanggang

  • desa fiktif
  • Dana Desa
  • desa hantu
  • Sri Mulyani
  • APBN
  • Presiden Jokowi

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!