BERITA

Pekan Ini Kementerian PU Selesaikan Analisa Gedung DPR Lama

Pekan Ini Kementerian PU Selesaikan Analisa Gedung DPR Lama

KBR, Jakarta - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bakal segera mengeluarkan rekomendasi terkait perlu tidaknya pembangunan gedung baru DPR di Senayan, Jakarta. 

Menteri PUPR, Basuki Hadimoeljono mengatakan tim Kementerian PUPR tengah merampungkan kajian dan analisa terkait kondisi gedung DPR yang lama.

"Belum selesai, masih dianalisa oleh tim PU dan tim pakar. Mudah-mudahan satu dua hari ini, atau minggu ini bisa dilaporkan ke saya. Ada tiga hal, satu untuk keamanan bangunan, keselamatan bangunan dan kenyamanan pengguna bangunan," kata Basuki di Komplek Parlemen RI, Rabu (22/11/17).

Basuki menjelaskan, beberapa hal yang dianalisa diantaranya struktur bangunan, kapasitas bangunan serta fasilitas penunjang. 

Tim Kementerian PUPR menganalisa apakah jumlah anggota DPR dan stafnya sudah bisa diakomodasi oleh gedung yang ada saat ini atau tidak.

"Misal ruangan kerjanya dan kamar kecilnya. Satu kamar kecil untuk berapa orang, satu anggota DPR berapa stafnya, serta berapa luas ruangannya," kata Basuki.

Basuki mengatakan, ada beberapa opsi rekomendasi Kementerian PUPR terkait pembangunan gedung baru DPR. Diantaranya apakah perlu pembangunan gedung baru atau cukup dengan renovasi. Namun jika diperlukan pembangunan baru, kata Basuki, gedung lama tetap harus bisa dimanfaatkan.

"Misal untuk kenyamanan satu anggota 10 meter persegi padahal butuhnya 20 meter persegi. Jadi dua ruangan jadi satu dengan rehab. Kan bisa begitu," kata Basuki.

Usulan pembangunan fasilitas gedung baru DPR sudah diajukan DPR kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat beberapa waktu lalu.

Seluas ruang menteri

Anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR, Irma Suryani Chaniago menyatakan hal utama yang diminta anggota DPR adalah ruangan kerja baru, karena gedung lama DPR sudah tak nyaman. 

Irma menambahkan penghitungan luas ruangan sepenuhnya ada di tangan Kementerian PUPR dan Sekretariat Jenderal DPR. Namun kalangan anggota DPR menginginkan ruang kerja anggota DPR seluas ruang kerja menteri.

"Desainnya kan yang bikin PUPR, anggaran itu pun adanya di Satker Sekjen, bukan Satker DPR. Jadi kami nggak ikut campur. Kami minta fasilitasnya saja. Jadi anggarannya kita mintakan, tetapi pengelolaannya tetap di pemerintah dan PUPR. Kami minta gedung baru, fasilitas gedung baru. Karena gedung lama tidak memadai lagi. Kalau apa-apa yang menjadi fasilitas kan PURP yang akan (menentukan)," kata Irma kepada KBR, Kamis (26/10/2017).

Pembangunan gedung baru DPR dan alun-alun demokrasi mulai dianggarkan dalam APBN 2018, yakni untuk tahap perencanaan senilai Rp601 miliar. 

Irma mengatakan anggota DPR tak akan ikut campur dalam proyek pembangunan tersebut, lantaran pekerjaannya sudah rampung pada tahap penganggaran. 

Baca juga:

Rumit

Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Ahmad Djuhara melihat banyak kerumitan yang akan dihadapi arsitek dalam merencanakan pembangunan gedung baru DPR dan alun-alun demokrasi di komplek parlemen. 

Djuhara mengatakan, pada perencanaan tersebut, arsitek akan mengkaji kembali apa saja fasilitas yang dibutuhkan anggota DPR, dimana pada prosesnya akan dijumpai banyak komplikasi. 

Mengenai pagu Rp601 miliar untuk tahap perencanaan tersebut, Djuhara enggan berkomentar, tetapi ia memiliki ilustrasi yang menjelaskan penghitungannya. 

"Ini yang dipersoalkan adalah ruang kerja anggota dewan, yang mana yang pantas, apakah semuanya harus dipenuhi? Karena kerumitan strata sosial para pejabat, ini kan ada kesetaraan-kesetaraan yang nuansanya politik. Saya terus terang nggak ngerti. Mungkin termasuk sayembara, pemilihan arsitek segala macam, sekian banyak fee konsultan lain. Karena sekali lagi, ini angka politis," kata Djuhara kepada KBR, Kamis (26/10/2017).

Djuhara mengatakan, biaya perencanaan biasanya seputar pengkajian kebutuhan ruang gedung, desain atau bisa juga melalui sayembara, dan pengawasannya. Pada tahap tersebut, arsitek yang akan mencari solusi dari semua masalah dan kebutuhan pembangunan gedung. 

Adapun biayanya, Djuhara enggan mengomentarinya. Misalnya pada biaya jasa arsitek sudah ada aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara. Aturan itu menyebut biaya jasa arsitek senilai 1 hingga 3,7 persen dari biaya pembangunan.

Djuhara juga tak mengetahui penghitungan detail biaya perencanaan tersebut, karena apabila jasa arsitek dihitung Rp601 miliar atau 3,7 persen, berarti total proyeknya senilai Rp22,2 triliun.

Gedung baru DPR rencananya akan menjadi ruang kerja para anggota DPR. Djuhara menjelaskan, apabila anggota DPR mencapai 560 orang, dan ingin memiliki ruang kerja seluas ruang kerja pejabat eselon satu di kementerian yang luasnya sekitar 100 meter persegi, berarti luas gedung yang dibutuhkan mencapai 5,6 hektare. 

Luas itu setara setidaknya dengan 20 lapangan bola. Ruang seluas itu harus dijadikan gedung bertingkat, setidaknya 56 lantai, karena pada bangunan kantor efisien, penghitungan per lantainya sekitar 1000 meter persegi. 

Meski begitu, kata Djuhara, luasan tersebut bisa dipangkas, apabila ada fasilitas seperti ruang rapat dan ruang ibadah yang digunakan bersama-sama. 

Baca juga:

Editor: Agus Luqman 

  • pembangunan gedung dpr
  • renovasi gedung DPR
  • fasilitas gedung DPR
  • gedung DPR miring
  • gedung baru DPR

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!