BERITA

Pemerintah Didesak Hapus Hukuman Mati

"Tidak ada penerapan eksekusi mati selama dua tahun terakhir."

Resky Novianto

Pemerintah Didesak Hapus Hukuman Mati
Salah satu sidang terdakwa kasus terorisme di PN Jakarta Barat. (Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta/kye/18)

KBR, Jakarta- Amnesty Internasional Indonesia mendesak Pemerintah untuk segera menghapus hukuman mati di Indonesia. Hingga kini, masih ada 299 narapidana di Indonesia yang menunggu eksekusi mati.

Dari total 37 kasus yang berujung pada vonis hukuman mati, 28 diantaranya terkait penyalahgunaan Narkoba, delapan kasus pembunuhan, dan satu vonis mati terkait tindak pidana terorisme. Di antara narapidana yang menunggu eksekusi mati, delapan diantaranya merupakan warga negara Taiwan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, tren hukuman eksekusi mati di Indonesia sudah jauh menurun. Terlebih dalam dua tahun terakhir ini, tidak ada lagi eksekusi mati terhadap narapidana. 

"Tapi yang sangat kita apresiasi adalah sikap Pemerintah dalam dua tahun terakhir, yang tidak lagi mengeksekusi para terpindana mati. Ini yang kita anggap adalah moratorium secara de facto. Kita berharap Pemerintah meningkatkan moratorium de facto ini menjadi lebih bersifat resmi formal de jure dalam sebuah kebijakan," kata Usman Hamid dalam acara peringatan moratorium hukuman mati sedunia, Rabu (10/10) di Jakarta.

Baca: Mencegah Hukuman Mati

Usman menambahkan, kebijakan penghapusan hukuman mati akan membawa ketenangan mental bagi para terpidana mati yang sedang menjalani hukuman di sel kurungan, meskipun tetap harus menjalani hukuman sesuai keputusan pengadilan.

Meskipun selama dua tahun terakhir, Indonesia tidak menerapkan hukuman eksekusi mati, tapi tetap masih saja ada vonis hukuman mati yang diketukkan melalui palu hakim. Tahun lalu misalnya, ada 47 keputusan vonis hukuman mati. Sedangkan pada 2018 ini, sampai Oktober, ada 37 vonis hukuman mati.

Inilah alasan, mengapa Amnesty Internasional Indonesia terus mendesak, agar Pemerintah Indonesia mengikuti jejak 106 negara lain di dunia, yang sudah menghapus hukuman mati. Alasannya, penghapusan hukuman mati merupakan salah satu wujud perlindungan HAM. Penurunan jumlah hukuman mati secara global pada 2017, ujar Usman, harus jadi momentum untuk memberlakukan moratorium eksekusi mati.

“Pemberlakuan moratorium hukuman mati, bisa memudahkan Pemerintah Indonesia di luar negeri, dalam upaya menyelamatkan dan membebaskan para TKI dan TKW di luar negeri, yang masih menghadapi hukuman mati," tuturnya.

Sementara itu, Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) menjelaskan, informasi yang diolah per Juli 2018, menemukan fakta bahwa sepanjang 20 tahun umur era reformasi (1998-2018), terdapat 393 kasus pidana mati di Indonesia, baik dalam tuntutan jaksa maupun putusan hakim. 

Peneliti ICJR, Sustira Dirga menyebutkan, pemerintahan Presiden Joko Widodo tercatat sebagai pemerintahan dengan jumlah tuntutan mati paling banyak, yaitu 181. Jumlah terbanyak terjadi pada 2015, dengan 84 tuntutan pidana mati. Dari jumlah total tuntutan mati tersebut, 103 tuntutan dikabulkan oleh hakim.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo merekomendasi mekanisme penggantian hukuman dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup, apabila tidak ada eksekusi selama 10 tahun lewat RKUHP. 

"Nah, ini juga mengapa pada akhirnya baik Pemerintah dan DPR, mengambil jalan tengah, karena di satu sisi tetap mengakomodir hukuman mati, tetapi tetap di sisi lain, ada batasan sejauhmana hukuman mati atau vonis itu bisa diterapkan," kata Sustira Dirga. 

Ia melanjutkan, ICJR pernah melontarkan kritik tentang tidak adanya argumentasi yang logis dan juga terukur, terkait penetapan jangka waktu 10 tahun yang ditetapkan itu.

Editor: Fadli Gaper

 

  • moratorium hukuman mati
  • hukuman mati
  • hari anti hukuman mati
  • eksekusi mati

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!