KBR, Jakarta- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengecam pernyataan pemerintah terkait hilangnya dokumen hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta pembunuhan aktivis HAM Munir. Ketua Komnas HAM, Imdadun Rahmat mengatakan sikap itu bisa ditangkap sebagai sinyal ketidakseriusan pemerintah.
"Jadi jawaban atau alasan bahwa dokumen itu hilang kita anggap sebagai sinyal atau tanda pemerintah tidak menganggap penting persoalan ini. HAM tidak jadi prioritas sehingga dokumen itu hilang," kata Imdadun di DPR, Kamis (13/10).
Imdadun meminta agar pemerintah tidak berkelit. Dia mendesak pemerintag mencari salinan dokumen tersebut ke institusi-institusi yang pernah menerima dari pemerintahan SBY atau kepada bekas anggota TPF.
Imdadun mengakui bahwa Komnas menyimpan 1 salinan. Namun, ia ragu dengan kebenaran isinya karena dokumen yang dia terima bukan dokumen resmi.
"Saat itu kami terima. Tapi kan bukan yang resmi. Mana tahu ada tip ex atau bagaimana."
Pasca putusan KIP, ujar dia, dokumen tersebut sudah menjadi kepemilikan publik. Publik berhak mengetahui isi dokumen. Jika di dalamnya ada infornasi yang untuk kepentingan penyelidikan lebih jauh atau perlindungan korban harus dirahasiakan, maka Imdadun meminta pemerintah tidak memutuskannya secara sepihak.
"Apakah confidential atau seluruhnya publik, itu KIP yang putuskan mana yang boleh di-share atau tidak."
Salinan di DPR
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR, Benny K. Harman menyebut DPR pasti memiliki satu salinan dokumen TPF Munir. Namun, dia sendiri tidak yakin dimana letak persis keberadaan tersebut.
"Saya rasa DPR juga punya. Itu kan tebal. Kalau mau dicari lagi bisa ada. DPR pasti punya. (DPR dikirim juga?) Pastilah. Kita dulu sudah membuat rekomendasi. Masa tidak ada," kata Benny.
Dia sendiri menganggap hilangnya dokumen tersebut aneh. Namun politisi Demokrat ini justru meminta agar kelanjutan kasus itu tidak perlu lagi melibatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai bekas presiden. Menurut dia, saat itu upaya SBY membentuk TPF dan memerintahkan kepolisian mendalami lagi kasus tersebut sudah cukup.
"Janganlah lagi libatkan pemerintahan yang dulu. Ini masalah keseriusan pemerintah yang sekarang. Pemerintah serius tidak atasi masalah ini?"
Editor: Rony Sitanggang