NASIONAL

Tren Vonis Ringan Bikin Koruptor Tak Kunjung Jera

"Presiden Jokowi pernah mewanti-wanti penegak hukum agar penindakan kepada koruptor tidak pandang bulu dan harus memberikan efek jera. Namun, banyak kasus korupsi berakhir dengan vonis ringan. "

Astri Septiani

vonis ringan
Direktur PT VCK Ivana Kwelju di Gedung KPK Jakarta, Selasa (9/8/2022). Ia divonis 1 tahun 8 bulan karena menyuap Bupati Buru Selatan. (Foto: ANTARA/Indrianto E)

KBR, Jakarta - Presiden Jokowi telah mewanti-wanti penegak hukum agar penindakan kepada koruptor tidak pandang bulu dan harus memberikan efek jera. Hal tersebut ia sampaikan dalam pidatonya pada acara Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia Desember lalu.

"Upaya penindakan sangat penting dilakukan secara tegas dan tidak pandang bulu. Bukan hanya untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan memberikan efek menakutkan kepada yang berbuat tapi penindakan sangat penting untuk menyelamatkan uang negara dan mengembalikan kerugian negara," kata Jokowi dalam acara Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (9/12/2021).

Jokowi mengatakan metode pemberantasan korupsi juga harus bisa diperbaiki dan sempurnakan. Ia meminta penindakan korupsi tak hanya menyasar peristiwa hukum yang membuat heboh di permukaan saja. 

Penindakan juga harus dilakukan melalui upaya-upaya fundamental, mendasar dan komprehensif yang bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.

Tren meningkat

Namun jauh panggang dari api, Lembaga pemantau korupsi Indonesia ICW justru mencatat adanya tren pengadilan memvonis ringan para koruptor. 

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan sepanjang tahun lalu, lebih dari 900 orang terdakwa korupsi divonis ringan. Rata-rata hukumannya 3 setengah tahun penjara. Hanya ada 13 terdakwa yang divonis di atas 10 tahun penjara atau termasuk berat.

"Ini kalau berdasarkan latar belakang terdakwa yang dituntut ringan, dari total 346 ASN, setengah diantaranya dituntut ringan. Hampir 50 persen aktor politik juga dituntut ringan dari total keseluruhan yang bisa kami identifikasi. Yang diperparah lagi, klaster penegak hukum hampir seluruhnya dituntut ringan. Dari 8 penegak hukum yang disidangkan, 6 diantaranya diganjar ringan oleh penuntut umum," ucap Kurnia dalam siaran persnya, Minggu, (22/5/2022).

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana juga menemukan sejumlah putusan pemenjaraan yang bertolak belakang dengan jumlah kerugian keuangan negara. Banyak perkara yang memiliki irisan kerugian besar keuangan negara, namun hanya divonis ringan. 

Kurnia mencontohkan kasus korupsi proyek jalan di Bengkalis, Riau, dengan terdakwa Direktur PT Arta Niaga Nusantara, Melia Boentaran. Pada kasus yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp156 miliar, Melia hanya dijatuhi pidana penjara 4 tahun.

ICW mencatat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung Jawa Barat paling sering memberi hukuman ringan bagi pelaku korupsi, dengan total 75 terdakwa.

Selain vonis ringan, jumlah vonis bebas dan lepas pada tahun lalu juga tercatat yang paling tinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Jumlah terdakwa yang divonis bebas mencapai 107 orang. Padahal, total kerugian keuangan negara akibat vonis lepas dan bebas itu senilai Rp256 miliar.

ICW juga mendorong agar Mahkamah Agung mencermati tren hukuman ringan kepada pelaku korupsi. Salah satunya dengan mengidentifikasi hakim-hakim pemberi vonis meringankan. 

ICW juga mendorong MA menyerukan pentingnya pencabutan hak politik bagi terdakwa korupsi dari klaster politik, seperti anggota legislatif, kepala daerah, atau pejabat publik lainnya.

Baca juga:

Bantahan MA

Di sisi lain Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin menepis tudingan lembaganya kerap memberikan diskon atau potongan vonis untuk koruptor. 

Ia menyebut, putusan yang dikeluarkan terkait kasasi yang diajukan para koruptor datang dari masing-masing rasa keadilan para hakim.

“Itu kan tergantung pada perasaan keadilan dari hakim-hakim yang bersangkutan ya. Nah itu menjadi wilayah kewenangan hakim dalam menentukan perasaan keadilannya. Jadi enggak bisa juga saya bilang diskon atau apa, itu kan kewenangan hakim dalam menentukan perasaan keadilan ya,” kata Syarifudin Gedung Merah Putih KPK (22/8/2022).

Eks Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai, vonis ringan koruptor mencerminkan perlunya revisinya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. 

Laode menganggap Undang-undang Tipikor saat ini sudah tidak membuat jera para koruptor. Laode mengatakan hukuman pidana maupun denda kepada para koruptor kelas kakap mestinya diberikan semaksimal mungkin.

"Saya itu percaya dengan efek jera itu (ada), kalau konsisten dilakukan bisa membuat orang berpikir dua sampai tiga kali melakukan korupsi. Kalau itu memang konsisten, (masalahnya) konsistensi di negeri kita ini kurang, sehingga akhirnya banyak (hukuman) yang tidak menimbulkan efek jera seperti itu," ucap Laode.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

  • Presiden Jokowi
  • pemberantasan korupsi
  • Korupsi
  • wrapup

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!