BERITA

Karhutla, Komnas HAM Sebut Korban Jiwa Kabut Asap Mencapai 28 Orang

""Pemerintah sangat lambat dan tidak menyeluruh dalam meminimalkan dampak asap akibat kebakaran hutan dan lahan serta dalam memulihkan hak atas kesehatan masyarakat yang terpapar asap.""

Randyka Wijaya

Karhutla, Komnas HAM Sebut Korban Jiwa Kabut Asap  Mencapai 28 Orang
Ilustrasi: Karhutla di OKI, Sumsel. (Foto: BNPB)

KBR, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan pemerintah lambat dalam menangani bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pasalnya, bencana asap telah terjadi selama 18 tahun berturut-turut. 


Anggota Komnas HAM, Sandrayati Moniaga mengatakan setidaknya 23 orang meregang nyawa akibat kabut asap pada 2015. Sandrayati mengklaim data itu dari kementerian kesehatan.


"Komnas HAM berkesimpulan bahwa pemerintah sangat lambat dan tidak menyeluruh dalam meminimalkan dampak asap akibat kebakaran hutan dan lahan serta dalam memulihkan hak atas kesehatan masyarakat yang terpapar asap. Akibatnya, tragedi asap pada 2015 telah merenggut sekurang-kurangnya 23 nyawa dan selama 18 tahun berturut-turut, kualitas kesehatan masyarakat yang terpapar karhutla mengalami penurunan secara drastis," kata Sandrayati Moniaga di Kantor Komnas HAM, Kamis (08/09/2016).


Komnas juga mencatat, korban jiwa diperkirakan mencapai ratusan orang dan kerugian ekonomi mencapai triliunan rupiah dalam kurun 18 tahun. Kata Sandra, pemerintah daerah tidak siap mengalokasikan anggaran maupun menyediakan sarana/prasarana yang memadai untuk menanggulangi bencana asap.


"Pemerintah daerah sangat lambat dan tidak menyeluruh dalam meminimalkan dampak asap dan memulihkan hak atas kesehatan," imbuh Sandra.


Dari pantauan Komnas bersama Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) telah terjadi pengabaian hak atas kesehatan, penegakkan hukum yang diskriminatif serta ketidakjelasan pihak berwenang dalam koordinasi pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi korban asap.


Diskresi


Sementara, Komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila menilai kepala daerah perlu menggunakan diskresi atau kewenangan menentukan tindakan dalam keadaan mendesak seperti bencana asap. Ini berkaitan dengan rumitnya mekanisme penggunaan anggaran dalam kasus bencana asap.


"Kerumitan birokrasi ini mestinya kemudian harus ada diskresi terhadap penanganan kebencanaan," ujar Laila.


Kata Laila, pengeluaran anggaran membutuhkan penetapan status bencana terlebih dahulu. Dia juga menyoroti kemungkinan ada ketakutan kepala daerah dalam mengeluarkan diskresi kemudian diperiksa oleh penegak hukum.


"Tidak semua pemerintah daerah berani mengambil keputusan dan berani menanggung risiko karena takut diperiksa Jaksa atau KPK, sehingga memperlambat pelayanan terhadap masyarakat," imbuh Laila.


Aturan mengenai diskresi tercantum dalam UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diskresi diperbolehkan, selama sesuai dengan tujuan yang merupakan hak pejabat pemerintahan.


Meski begitu, Komnas HAM menilai aspek pencegahan tetap harus dimaksimalkan. Komnas juga mengapresiasi langkah pemerintah yang membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada awal tahun ini.


Editor: Rony Sitanggang

  • karhutla
  • Anggota Komnas HAM
  • Sandrayati Moniaga
  • Wakil Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila
  • bencana kabut asap

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!