BERITA

Konflik Lahan, Potensi Deadlock di Tesso Nilo Masih Besar

"Seluruh pemangku kepentingan merasa jadi korban. "

Ria Apriyani

Konflik Lahan, Potensi Deadlock di Tesso Nilo Masih Besar
Pemandangan dari udara sebagian Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, yang mulai ditanami kelapa sawit setelah dibakar oleh perambah, Senin (9/9/2013). Foto: Antara

KBR, Jakarta- Ahli resolusi konflik, Ichsan Malik, melihat penyelesaian konflik kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) berpotensi deadlock. Pasalnya, menurut Ichsan, seluruh pemangku kepentingan merasa jadi korban. Ichsan khawatir tidak akan ada solusi jika kondisi ini dibiarkan.

"Semua pihak merasa jadi korban. Masyarakat menjadi korban, kepala Balai jadi korban, corporate juga merasa jadi korban. Ini kondisi yang berbahaya. Di dalam konflik ketika semua merasa jadi korban, tidak ada solusi, tidak ada win-win Solution," kata Ichsan, Rabu (10/8/2016).

Ichsan sendiri mempertanyakan munculnya surat hak penggunaan lahan di kawasan konservasi yang dimiliki oleh masyarakat. Padahal, ada 7 undang-undang yang melindungi kawasan tersebut. Kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 2004.

Penelitian Ichsan, tidak semua lahan kebun sawit murni milik masyarakat. Ada modus untung-untungan yang digunakan para pembeli lahan di kawasan Tesso Nilo dan sekitarnya.

"Perilaku ekonomi yang menyerupai perjudian. Semata-mata hanya memanfaatkan celah kesempatan yang terbuka. Beli tanah, kemudian dijual lagi, disewakan lagi, diijonkan."

Ichsan mendorong upaya penyelesaian masalah ini harus memperhatian aspek kepastian hukum, keadilan sosial dan ekonomi bagi masyarakat, dan keadilan ekologis bagi keanekaragaman satwa disana.

"Taman Nasional Tesso Nilo ini dinding terakhir bagi gajah Sumatera. Kemana lagi mereka harus pergi? Ini perlu dipikirkan juga bukan hanya oleh pemerintah. Masyarakat juga."

Solusi dari KLHK 

Sebelumnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK mengatakan dalam waktu dekat segera mengeluarkan kebijakan untuk menyelesaikan konflik lahan di TNTN. Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono, mengatakan pemanfaatan Tesso Nilo akan diatur berdasarkan wilayahnya. Ini menurutnya bakal menjadi jalan tengah untuk menyelesaikan konflik di Tesso Nilo.

Bambang mengeluhkan kondisi Taman Nasional Tesso Nilo saat ini. Dari 86 ribu hektare kawasan konservasi yang diatur dalam SK Menteri, hanya tersisa 23 ribu hektar saja. Sisanya telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit baik milik perusahaan maupun penduduk.

"Ada usaha perhutanan sosial yang larinya ke hutan produksi yang belum ada pengelolanya, yang mana sekarang wewenang Gubernur bersama KLHK untuk beri akses legal. Bakalan kita sepakat jadi hutan tanaman rakyat, bukan lagi areal izin,"kata Bambang di Hotel Aryaduta, Rabu (10/8).

Menurut Bambang, wilayah utara Tesso Nilo akan dimanfaatkan untuk kawasan agroforestry. Sebelah Barat untuk kawasan perhutanan sosial demi mengakomodir kepentingan masyarakat. Kawasan itu akan digunakan untuk hutan adat, hutan desa, dan hutan warga.

Bergeser ke sebelah timur, KLHK akan mengundang peran perusahaan swasta yang memanfaatkan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo untuk membantu perbaikan kawasan ini menjadi area konservasi. Terakhir, daerah selatan akan dikelola dengan Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan.

KLHK sudah membentuk task force yang pucuk komandonya di pemerintah provinsi dan kabupaten masing-masing wilayah. Mereka berencana untuk memulihkan area yang ditinggalkan perambah.

Sebelumnya pemanfaatan liar kawasan ini menuai banyak masalah. Awal Juni lalu, 80 hektare lahan di kawasan ini dibakar. Padahal, kawasan ini digunakan sebagai area konservasi gajah dan harimau Sumatera. Di sisi lain, kawasan ini juga banyak dirambah dan dimanfaatkan untuk penanaman sawit, kayu, dan hasil hutan lain oleh warga maupun perusahaan perkebunan.

Editor: Malika

  • tesso nilo
  • taman nasional tesso nilo
  • gajah sumatera

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!