NASIONAL

Guru Besar Farmasi UGM Tolak Legalisasi Ganja Medis

"Legalisasi ganja medis ditolak karena jika dimasukkan ke golongan 2, apalagi legal, maka dikhawatirkan banyak penumpang gelap yang menyalahgunakan."

Fadli Gaper

Ganja Medis
Polisi mencabut tanaman ganja dalam pemusnahan di Gunung Seulawah, Seulimeum, Aceh Besar (16/6/2021). (Foto: HO/Antara)

KBR, Jakarta - Kalangan akademisi menolak legalisasi ganja, meskipun untuk kepentingan medis. Menurut Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati, ganja harus tetap dimasukkan ke dalam Narkotika Golongan 1. 

Zullies beralasan jika ganja dicabut dari golongan 1 dan dibiarkan legal dengan alasan untuk medis, maka dampak kerusakannya di tengah masyarakat berpotensi lebih parah.

"Ganja itu tetap masuk di (narkotika) golongan 1. Kenapa? Karena kalau dimasukkan ke golongan 2 dan itu boleh (dipakai), apalagi legal, maka saya sering bilang, banyak penumpang gelapnya nanti. Berapa persen sih orang-orang yang membutuhkan ganja medis? Atau ganja yang benar-benar dibutuhkan untuk kebutuhan medis, dibandingkan dengan orang-orang keseluruhan yang pengguna ganja? Nanti akan lebih susah lagi mengaturnya, membatasinya," ujar Zullies Ikawati saat webinar "Jalan Panjang Legalitas Ganja Medis" yang disiarkan kanal Youtube Kanal Pengetahuan Farmasi UGM pada (6/7/2022).

Zullies menambahkan, ganja yang bisa dilegalkan hanyalah senyawa turunannya saja, seperti "cannabidiol". Senyawa ini dinilai tidak memiliki aktivitas psikoaktif. Sehingga bisa dimanfaatkan sebagai obat atau kepentingan medis, dan bisa juga masuk ke Narkotika Golongan 2 atau 3.

Baca juga:

Zullies juga mengingatkan, proses "legalisasi" senyawa turunan ganja menjadi obat harus mengikuti kaidah pengembangan obat, atau sesuai regulasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Editor: Agus Luqman

  • Ganja Medis
  • UGM
  • Ganja
  • Zullies Ikawati

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!