BERITA

Putusan Hakim Untungkan Polri, Kuasa Hukum Novel Baswedan Minta Tanggung Jawab Jokowi

""Kami meyakini, di masa yang akan datang para penegak hukum, khususnya Penyidik KPK, akan selalu dibayang-bayangi oleh teror yang pada faktanya tidak pernah diungkap tuntas oleh negara.""

Ardhi Rosyadi

Putusan Hakim Untungkan Polri, Kuasa Hukum Novel Baswedan Minta Tanggung Jawab Jokowi
Mahasiswa Kalimantan Barat menggelar aksi menuntut keadilan bagi Novel Baswedan di DPRD Kalbar di Pontianak, Selasa (30/6/2020). (Foto: ANTARA/Jessica Helena)

KBR, Jakarta - Tim Advokasi Novel Baswedan kecewa dengan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memvonis rendah dua polisi pelaku teror penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.

Dalam sidang Kamis (16/7/2020), majelis hakim mempvonis dua polisi peneror Novel Baswedan masing-masing dengan hukuman dua tahun dan 1,5 tahun penjara. Vonis ini lebih tinggi sedikit daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut hukuman satu tahun penjara kepada Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. 

Dua orang itu dianggap melakukan penganiayaan berat terencana kepada penyidik KPK Novel Baswedan pada 11 April 2017 lalu. Pelaku menyiramkan air keras yang mengakibatkan luka pada mata Novel hingga buta. Jaksa menyebut pelaku tidak sengaja menyiramkan air ke kepala Novel. 

Tim Advokasi Novel Baswedan dalam tanggapan tertulisnya mengatakan Presiden Joko Widodo harus segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki ulang kasus penyiraman air keras yang menimpa Novel. 

"Sebab, penanganan perkara yang dilakukan oleh Kepolisian terbukti gagal untuk mengungkap skenario dan aktor intelektual kejahatan ini," begitu sikap Tim Advokasi yang diterima KBR, Jumat (17/7/2020).

Tim Advokasi menilai ketika Kejaksaan menyerahkan dakwaan rendah pelaku penyerangan Novel ke tangan hakim, skenario penyelesaian kasus sudah selesai. 

"Skenario ini adalah tuntutan yang ringan untuk mengunci putusan hakim.  Nyaris tidak ada putusan yang dijatuhkan terlalu jauh dari tuntutan, kalaupun lebih tinggi daripada tuntutan. Misalnya tidak mungkin hakim berani menjatuhkan pidana 5 tahun penjara untuk terdakwa yang dituntut 1 tahun penjara," sebut Tim Advokasi Novel Baswedan.

Tim Advokasi menyebut putusan sengaja dibuat ringan agar terdakwa tidak dipecat dari institusi kepolisian dan menjadi peniup peluit kasus (whistle blower) atau pelaku yang bekerja sama dengan hukum (justice collaborator). 

"Skenario sempurna ini ditunjukkan oleh sikap terdakwa yang menerima dan tidak banding meski diputus lebih berat dari tuntutan penuntut umum," tulis Tim Advokasi Novel.

Tim Advokasi juga menilai jaksa juga sengaja menyerahkan barang dan alat bukti yang tidak memiliki keterkaitan dan kesesuaian dengan para terdakwa, sehingga tuntutan dibuat ringan.

"Dengan demikian putusan majelis Hakim harus dikatakan bertentangan dengan Pasal 183 KUHAP yang mengamanatkan bahwa Hakim harus memiliki keyakinan dengan didasarkan dua alat bukti sebelum menjatuhkan sebuah putusan."

Sejak awal persidangan, Tim Advokasi Novel Baswedan mencurigai proses peradilan dilaksanakan hanya untuk menguntungkan para terdakwa. Kesimpulan itu terlihat dari isi dakwaan, proses unjuk bukti, tuntutan Jaksa, dan putusan yang mengabaikan fakta-fakta sebenarnya.

Untungkan Polri

Tim Advokasi Novel Baswedan menilai putusan rendah yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menguntungkan institusi Polri. Dengan putusan rendah itu, dua terdakwa yang merupakan anggota polisi tidak mungkin dipecat dan pendampingan hukum oleh Divisi Hukum Polri berhasil dijalankan. Padahal, pendampingan resmi oleh Polri itu sarat konflik kepentingan.

Ironisnya, menurut Tim Advokasi, putusan rendah ini terjadi bertepatn dengan terungkapnya skandal keterlibatan jenderal polisi dalam meloloskan buronan koruptor dalam kasus hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra. 

Apalagi, Tim Advokasi juga mengingatkan sejumlah kasus korupsi sebelumnya yang melibatkan pejabat Polri. Salah satunya kasus korupsi simulator SIM yang melibatkan jenderal polisi bintang dua Djoko Susilo. Begitu juga kasus rekening gendut yang melibatkan jenderal polisi Budi Gunawan. 

"Putusan pra peradilan hanya menyatakan KPK tidak berwenang menyidik kasus ini karena BG bukan penegak hukum. Pra peradilan pasti tidak bisa mengadili pokok perkara sehingga tidak pernah ada pernyataan pengadilan bahwa BG tidak bisa diteruskan kasusnya. Oleh karena itu kasusnya dilimpahkan ke kepolisian agar dapat diproses pada tahun 2016. Dan Polri belum melanjutkan kasusnya meskipun telah berjalan empat (4) tahun," tulis Tim Advokasi Novel. 

Rentetan kasus yang melibatkan polisi itu, menurut Tim Advokasi, menunjukkan penegakan hukum di Indonesia tidak pernah berpihak pada korban kejahatan. 

"Maka dari itu, kami meyakini, di masa yang akan datang para penegak hukum, khususnya Penyidik KPK, akan selalu dibayang-bayangi oleh teror yang pada faktanya tidak pernah diungkap tuntas oleh negara," begitu sikap Tim Advokasi Novel. 

Tim Advokasi Novel Baswedan menuntut pertanggungjawaban Presiden Joko Widodo selaku Kepala Negara karena selama ini mendiamkan citra penegakan hukum dirusak oleh kelompok tertentu. 

"Dengan hormat kami ingatkan Bapak Presiden bahwa Kapolri dan Kejakgung berada di bawah langsung Presiden karena tidak ada kementerian yang membawahi kedua lembaga ini. Baik buruk penegakan hukum adalah tanggung jawab langsung Presiden yang akan terus tercatat dalam sejarah Negara Hukum Republik Indonesia," tulis Tim Advokasi Novel Baswedan.

Editor: Agus Luqman

  • Novel Baswedan
  • Polri
  • antikorupsi
  • Jokowi

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!