BERITA

Our Voice: Jadi LGBT Bukan Pilihan, Tapi Rahmat dari Tuhan

"Di Indonesia, banyak yang menentang, banyak juga yang mendukung. "

Sindu Dharmawan

Our Voice: Jadi LGBT Bukan Pilihan, Tapi Rahmat dari Tuhan

KBR, JakartaKeputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis di 50 negara bagian pada 26 Juni lalu , menimbulkan kehebohan. Ada yang mendukung, dan menolak kebijakan ini – dan ini terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Kalau Anda mencermati lini masa di Facebook misalnya, maka Anda akan menemukan beberapa teman Anda mungkin mengganti foto profil mereka dengan latar pelangi. Latar pelangi ini khusus disediakan oleh Facebook sebagai bentuk perayaan mereka atas keputusan MA di Amerika Serikat tersebut.

Di Indonesia, ada juga yang menolak perayaan seperti ini. Alasan yang banyak dipakai adalah agama. Mengingat isu ini masih sensitif di tanah air, banyak juga pendukung yang memilih untuk tidak menunjukkan dukungan mereka terang-terangan, misalnya dengan memasang warna-warni pelangi itu.

Menurut Sekjen LSM pemberdayaan LGBT, Our Voice, Hartoyo, aksi penolakan terhadap legalisasi pernikahan sesama jenis, terutama di tanah air, ‘sudah bisa diketahui asalnya dari mana’ kata dia – meski begitu ia tak menyebutkan secara spesifik apa yang dia maksud.

“Ada yang rasional. Ada yang menolak. Kita tahu siapa kelompok yang menolak, yaitu kelompok konservatif. Itu hal yang wajar dalam negara demokrasi,” terangnya, Rabu (1/7/2015).

Penolakan, jelas Hartoyo, biasanya disampaikan dengan menggunakan ayat-ayat agama.

“Jika ditafsirkan dengan agama, agama itu banyak tafsir. Ulama juga banyak pendapat yang berbeda. Inilah dinamika keberagaman di Indonesia.”

Sebagian lainnya, kata dia, menyebut homoseksual sebagai penyakit. Padahal, menurutnya bukan penyakit.

“Ada pedoman diagnosa gangguan jiwa di Kementerian Kesehatan pada tahun 1993 yang dicabut, bahwa homoseksual bukan penyakit, tapi sebuah keberagaman. Di dunia pun sudah diakui aklamasi bahwa homoseksual bukan penyakit. Jika kita belajar di ilmu kedokteran atau psikologi itu sudah dinyatakan bukan penyakit. Alasan yang digunakan penentang legalisasi ini salah.”

Di Indonesia sendiri, penolak juga kerap menggunakan sejarah dalam menyampaikannya keberatannya. Kembali Hartoyo menjelaskan.

“Dia menggunakan sejarah Luth, kalau Kristen Sodom dan Gomora. Di Indonesia memang Muslim yang paling menolak,” tuturnya.

Wajar, asal tanpa kekerasan

Ketika ada yang mendukung aturan itu kemudian mendapat kecaman, kata Hartoyo, itu sebuah kewajaran dalam demokrasi. Ia lantas mengapresiasi sejumlah artis tanah air yang terang-terangan mendukung LGBT, semisal Sherina. Meski pada akhirnya anak Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf itu harus dicemooh di media sosial.

red

“Tapi, itu keberanian. Pendukung homo itu beragam sekarang. Ada kebencian di medsos, itu kita masih belajar.”

Namun baginya, penolakan adalah sebuah kewajaran asalkan tak disertai kekerasan fisik dan lainnya.

“Negara harus hadir jika ada kekerasan fisik, dan saya harap itu tidak ada.”

Apa yang terjadi di Amerika saat ini, kata Hartoyo, bukanlah hal yang terjadi dengan tiba-tiba. Bisa jadi, kata dia, 50 tahun lalu kondisi Amerika seperti Indonesia saat ini. Ia yakin pengaruh Amerika sebagai negara besar, juga akan disuarakan di Indonesia.

“Amerika didirikan dengan persamaan hak yang sama, Indonesia pun sama. UU pun tidak membedakan. Ini proses untuk bangsa menjadi dewasa.”

Homophobia

Yang patut dikhawatirkan saat ini, kata dia, adalah homophobia.

“Itu yang harus ke psikolog. Dia yang harus berobat. Itu yang menurut saya punya masalah,” tegas pria yang dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah ini.

Diakuinya, sebagai lelaki homoseksual akan sulit jika diminta mencintai perempuan, begitu juga lesbian kalau diminta mencintai laki-laki. Ia menyebut, pemaksaan itu sebagai sebuah ‘pemerkosaan’.

“Saya terus terang tidak pernah merasakan cinta ke perempuan. Sekarang saya suka laki-laki yang gemar sastra. Misal saya gay, enggak semua lelaki saya suka. Jangan salah.”

Apa yang diperjuangkan lembaganya saat ini tidak muluk seperti apa yang terjadi di Amerika belum lama ini. Bahkan, meski disetujui, penolakn di Amerika pun masih terjadi. Sejumlah pihak masih menuntut pencabutan pengesahan legalisasi pernikahan sejenis di Negeri Paman Sam tersebut.

“Saya optimistis pernikahan sejenis di Indonesia akan terjadi. Di Amerika pun dulu seperti itu. Anda bayangkan, pernahkah kulit hitam akan menjadi presiden di Amerika? Faktanya sekarang terjadi. Harapan saya di Indonesia 20 tahun lah, jangan 50 tahun.”

Jangan ada diskriminasi

Saat ini ia dan semua kaum LGBT berharap, minimal tidak ada kekerasan dan diskriminasi di semua tataran. Karena bagaimanapun, kata Hartoyo, LGBT adalah juga warga negara, pembayar pajak yang perlu mendapat pelayanan yang sama. Meski diakuinya, diskiminasi masih ada. Semisal dalam bentuk Perda, dan sejumlah aturan lainnya.

“Waria sampai sekarang sulit dapat kerja. Gay di kantor juga sulit, kalau mengaku jg akan disindir dan sebagainya. Lesbian itu jauh lebih mengerikan ketertutupannya. Organisasi lesbian itu sulit mengumpulkan lesbian. Kalau gay sekarang banyak yang nongkrong di mall.”

Hartoyo mengaku, membutuhkan dukungan semua pihak untuk menggapai cita-cita tersebut.

“Pertama momen ini berharga buat kami. Ke depan kita akan memberi pendidikan ke publik, seperti di radio sekarang. Kami juga warga negara, kita juga punya kontribusi. Kita juga akan mendidik LGBT utk jujur, tidak menipu ke anak, istri, lingkungan dan orang tuanya. Kita mencegah mereka untuk tidak bunuh diri karena tekanan. Jangan harap itu terjadi.”

Pada saatnya nanti, ia yakin, masyarakat akan lebih terbuka. Karena menjadi LGBT bukanlah pilihan, “Ini berkah yang diberikan Tuhan.”

Ia pun meminta kaum LGBT untuk tidak pergi ke luar negeri untuk sekedar mencari pengakuan. Sebaliknya ia mengajak mereka semua berjuang bersama meluruskan pemahaman dan bersama membangun bangsa Indonesia menjadi beradab serta adil kepada semua orang. 

Editor: Citra Dyah Prastuti 

  • LGBT
  • pernikahan sesama jenis

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!