NASIONAL

Satu Kasus Kekerasan Seksual Terjadi setiap Minggu di Sekolah

"Sejak Januari 2023 ada 22 kasus kekerasan seksual. "

Fadli Gaper, Astri Septiani, Hoirunnisa

Satu Kasus kekerasan Seksual Terjadi setiap Minggu di Sekolah
Ilustrasi: Warga melintas mural berisi kampanye stop kekerasan seksual di Yogyakarta, Senin (10/1/2022). (Foto: ANTARA/Andreas Fitri)

KBR, Jakarta- Kekerasan seksual di satuan pendidikan masih terus terjadi. Satuan pendidikan yang dimaksud berada di bawah kewenangan Kemendikbudristek dan Kementerian Agama.

Hasil pendataan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebut, sejak Januari 2023 ada 22 kasus kekerasan seksual. Jumlah korbannya mencapai 202 anak atau peserta didik. Artinya, terjadi satu kasus kekerasan seksual setiap pekan.

Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mengatakan kekerasan seksual yang masih terjadi di satuan pendidikan, akibat kurangnya penerapan regulasi. 

Seperti, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Tinggi. Lalu, Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan. 

Retno mencontohkan, belum semua satuan pendidikan membentuk Satgas Pencegahan Kekerasan Seksual.

"Padahal dengan membentuk satgas kemudian sekolah harus membuat portal pengaduan, dan sekolah akan bekerja sama dengan pihak lain seperti psikolog terkait. Jadi, ini sebenarnya menjadi benteng untuk pencegahan. Karena kalau sudah kuat pada pencegahan, pelaku juga mikir-mikir mau melakukan," ujar Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti kepada KBR, Minggu, (4/6/2023).

Modus Pura-Pura Menikahi Korban

Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mendesak pemerintah memperketat pengawasan, terutama menerapkan pencegahan kekerasan seksual sesuai regulasi yang ada.

Federasi Serikat Guru Indonesia menjelaskan 13 modus yang kerap dilakukan para pelaku. Salah satunya, pelaku berpura-pura menikahi korban secara siri tanpa wali dan saksi nikah. Sesudah praktik pura-pura nikah itu, pelaku melakukan kekerasan seksual kepada santriwatinya dengan dalih “sudah bersuami-istri”.

Modus demikian melanggar Permenag tentang Penanganan Kekerasan Seksual. Yaitu, rambu larangan “Mempraktikkan Budaya yang Bernuansa Kekerasan Seksual”.

Memaksimalkan Penerapan Aturan

Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA), Nahar mengeklaim, terus memaksimalkan pelaksanaan sejumlah regulasi untuk mencegah kekerasan seksual. Mulai dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Undang-Undang Perlindungan Anak; hingga Permendikbud-ristek dan Permenag.

"Lapor, respons cepat, ditangani dengan baik maka kita dalam prosesnya berusaha untuk memastikan bahwa mencegah hal-hal buruk yang ketika kasus ini tidak dilaporkan menimpa anak-anak yang menjadi korban. Namun memang diakui misalnya perlu terus ditingkatkan. Bahkan undang-undang terakhir UU 12 Tahun 2022 itu juga menegaskan tentang pentingnya upaya-upaya pencegahan di antaranya di satuan pendidikan," kata dia saat dihubungi KBR, Minggu, (4/6/23).

Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar juga mendorong masyarakat berani melapor bila menjumpai kekerasan seksual di satuan pendidikan.

Tertutup

Di lain pihak, anggota Komisi bidang Agama DPR, Iskan Qolba Lubis mengingatkan, mayoritas madrasah, pondok pesantren dan satuan pendidikan keagamaan justru tidak dikelola Kementerian Agama. Kondisi demikian mempersulit pengawasan, karena pondok pesantrennya tertutup bahkan sulit dijangkau.

"90 persen perantren-pesantren itu tidak dikelola Kementerian Agama. Dalam arti kan dia tidak bisa ngontrol pengawasannya, sistemnya dan seterusnya. Jadi kalau memang ingin diperbaiki harus dimulai dari anggaran itu harus ke Kementerian Agama minimal adil-lah. Jadi pengawasannya agak kecil," ujar Anggota Komisi VIII DPR Iskan Qolba Lubis kepada KBR, Minggu, (4/6/2023).

Hampir senada dengan Iskan, Anggota Komisi bidang Pendidikan DPR Andrea Hugo Pareira menyerukan kepada pemerintah daerah melalui dinas pendidikan agar pro-aktif melakukan pengawasan internal. Termasuk, penerapan Permendikbudristek dan Permenag di satuan pendidikan.

Tidak Dilaporkan

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI meyakini, banyak kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan yang tidak dilaporkan. Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menilai, regulasi Permendikbudristek dan Permenag tentang pencegahan kekerasan seksual belum efektif dilaksanakan.

"Karena memang kita belum serius untuk membuat semacam pusat aduan gitu ya di satuan pendidikan itu. Di mana pusat aduan ini ada SDM yang dilatih terkait bagaimana menerima aduan yang aman dan nyaman bagi peserta didik termasuk juga memastikan penanganan atau kepastian penanganan termasuk juga bagaimana memastikan apa membangun referral (rujukan, red) sistem yang ada di daerah atau di satuan pendidikan," kata dia kepada KBR (4/6/23),

Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menambahkan, kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek dan Kementerian Agama, harus diselesaikan bersama. Apalagi masih banyak sekolah menutup-nutupi kasus kekerasan seksual, lantaran dianggap aib.

Baca juga:

Editor: Sindu

  • Kekerasan Seksual
  • Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!