BERITA

Jurus UI Kendalikan Rokok di Kampus

Jurus UI Kendalikan Rokok di Kampus

KBR, Jakarta- Undang-Undang nomor 39/2009 tentang Kesehatan menetapkan setiap tempat belajar–mengajar, termasuk kampus, sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Namun, sampai sekarang baru sedikit kampus yang menjalankan aturan tersebut.

Universitas Indonesia (UI) adalah salah satu "kampus langka" itu. Sejak bertahun-tahun lalu, kampus ini bahkan sudah punya aturan pengendalian rokok sendiri yang ditegaskan lewat Surat Keputusan (SK) Rektor.

Koordinator Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja UI, Yuni Kusminanti, menjelaskan, “Tahun 2005 – 2006 kami sudah menggagas SK Rektor ini. Dan alhamdulillah 2011 akhirnya ditandatangani, dan menjadi komitmen dari pimpinan puncak UI tentang aturan rokok,” kisahnya dalam talkshow Ruang Publik KBR, Selasa (18/6/2019).


Baca Juga:

Kemenristekdikti Didesak Batalkan Kerja Sama dengan Industri Rokok

Di Jepang, Dosen Perokok Tidak Boleh Mengajar 


Komitmen Pembatasan Rokok: Dari Rambu Sampai Beasiswa

Sejak 2011 UI menerapkan larangan merokok di seluruh area kampus. “Kami berharap dengan adanya KTR (Kawasan Tanpa Rokok) ini (perokok) bisa terbantu untuk berhenti merokok, dan mencegah adanya perokok pemula,” jelas Yuni.

“Lebih jauhnya lagi untuk menciptakan generasi muda, terutama lulusan UI, yang sehat. Jadi kalau nanti mereka lulus dan melamar kerja, dites kesehatan, MCU (medical check-up)-nya bagus,” tambahnya.

Penerapan KTR di UI dibarengi sejumlah langkah lain, mulai dari pemasangan rambu pelarangan merokok, pemberian sanksi teguran dan denda untuk pelanggar, sampai membuat kebijakan sponsor dan beasiswa antirokok.

“Program KTR ini kami lakukan dengan beberapa upaya, misalnya tidak menerima sponsor atau pemberi beasiswa yang terkait dengan industri rokok. Penerima beasiswa UI juga tidak boleh perokok aktif,” jelas Yuni.

UI juga mewajibkan semua panitia penyelenggara kegiatan kampus agar menyisipkan kampanye antirokok dalam acara-acara mereka.

Bukan hanya untuk mahasiswa dan dosen, aturan pembatasan rokok berlaku untuk setiap tamu, mitra kerja, sampai pihak-pihak vendor dan kontraktor yang bekerja di lingkungan UI.

“Merokok Ini bukan hanya terkait dengan risiko kesehatan, tapi juga risiko keselamatan, misalnya risiko kebakaran dan sebagainya. Jadi ketika mereka (vendor) bekerja di UI, kami sangat tegas sekali bahwa mereka tidak boleh merokok di area kerja,” tegas Yuni.


Konsisten Hadapi Penolakan

Yuni mengatakan penerapan aturan rokok ini sempat memicu penolakan, baik dari kalangan mahasiswa, dosen, maupun dari pihak luar kampus.

“Kita (UI) seringkali disebut seperti polisi. Tapi lama-lama, karena kita terus konsisten melakukan pembatasan (rokok) itu, lama-lama berkurang juga (penolakan) itu,” kisahnya.

Sejak pemberlakuan SK Rektor tahun 2011 sampai sekarang, Yuni mengklaim perilaku dosen yang merokok sembarangan sudah sangat berkurang. Efek serupa juga terjadi di lingkungan mahasiswanya.

“Di kantin misalnya, tahun 1994 dulu di kantin beberapa fakultas itu asap (rokok) di mana-mana. Tapi sekarang it’s clean. Kalau ada yang merokok ya di spot merokok yang terpencil,” ujarnya.

“Kita belum pernah benar-benar mensurvei berapa jumlah perokok di kampus, tapi dari hasil kami mengamati langsung, dari tahun 2015 ke 2019 ini perokoknya menurun. Area-area yang tadinya kita sebut critical sekali, seperti kantin, itu perokok sudah tidak ada lagi,” tambah Yuni.

Aturan pembatasan rokok di UI juga berlaku baik untuk rokok konvensional maupun rokok elektrik.


Dukungan IAKMI Soal Kampus Bebas Rokok

Ketegasan UI dalam menerapkan aturan rokok mendapat apresiasi dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI).

Apresiasi disampaikan perwakilan Biro Advokasi Hukum IAKMI, Dwijo Susilo.

“Hebatnya lagi menurut pandangan kami, SK Rektor (UI) ini tidak hanya melarang orang merokok, jualan, promosi, sponsorship, tapi juga melarang institusi untuk bekerja sama dengan industri rokok,” ujarnya dalam talkshow Ruang Publik KBR, Selasa (18/6/2019).

Terkait tema ini, IAKMI mengkritik langkah Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristekdikti) yang malah bekerja sama dengan PT HM Sampoerna.

“(Kerja sama kampus dengan industri rokok) mencederai visi presiden untuk menciptakan generasi emas 2024. Kami sangat berharap Pak Menteri (Ristekdikti) untuk mencabut kerjasama ini,” tegas Dwi.

Demi menurunkan jumlah perokok anak dan remaja, Dwi juga menilai pemerintah harus memiliki komitmen penuh.

“Pemerintah harusnya secara ketat menerapkan KTR, pelarangan kerja sama dengan industri rokok atau organisasi yang berkaitan dengan industri rokok, yang kadang-kadang mengatasnamakan CSR (corporate social responsibility),” jelas Dwi.

“Pemerintah juga perlu melarang produksi dan peredaran rokok elektrik, karena di Jakarta hampir 50 persen perokok remaja adalah perokok ganda (rokok konvensional dan elektrik), dan ini harus kita hindari,” tambahnya.

Editor: Rony Sitanggang

  • rokok
  • rokok elektrik
  • UI
  • kampus bebas rokok
  • pengendalian tembakau
  • kawasan tanpa rokok
  • KTR
  • iklan rokok

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!