NASIONAL

Stop Stigma dan Kriminalisasi Korban Penyebaran Konten Intim Nonkonsensual!

"Stop Penyebaran Konten Intim Nonkonsensual!"

Podcast What's Trending

KBR, Jakarta- Stop di kamu!

Rasanya seruan ini penting banget digaungkan kembali. Pasalnya, selebritis RK yang menjadi trending topic di media sosial Twitter, lantaran konten intim yang diduga dirinya tersebar luas tanpa izin.

Alih-alih dilindungi dan didukung sebagai korban, malah banyak yang ikut jadi penyebar konten intim nonkonsensual tersebut.

RK juga terancam dipolisikan dan sempat dilaporkan oleh Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI) dan Organisasi Masyarakat Pembela Kesatuan Tanah Air (Pekat) Indonesia Bersatu atas dugaan kasus tindak pidana asusila.

Melasir rilisnya, Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen. Pol. Dr. Ahmad Ramadhan mengungkap, RK telah melaporkan dan mengaku sebagai korban kasus penyebaran video syur mirip dirinya.

"Penerima kuasa dari RAPK alias RK melaporkan pemilik akun Twitter dede gemes @ddkugem, atas dugaan tidak pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, dan atau mentransmisikan, dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik, dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan kesusilaan," ungkap Ahmad (26/5/2023).

RK akan diperiksa sebagai pelapor dan korban kasus ini. Saat ini Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri masih mempelajari laporan yang dibuat RK.

Korban Kok Distigmatisasi dan Dikriminalisasi?

The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengecam tindak stigmatisasi dan upaya kriminalisasi dari korban Penyebaran Konten Privat tanpa Persetujuan. Peneliti ICJR Johanna Poerba menegaskan, RK adalah korban bukan pelaku.

"Kami di sini menyoroti pelaporan terhadap RK ini. Karena kami memandang RK itu dalam kasus ini posisinya itu adalah korban begitu. Kenapa? Karena kalau misalnya kita lihat itu, di dalam ketentuan Undang-Undang Pornografi di pasal 4 kan ada ditulis, bahwa setiap orang yang melakukan beberapa perbuatan ya. Seperti membuat begitu, kemudian memproduksi, menyiarkan menyebarluaskan, dan perbuatan lainnya begitu ya, terkait konten pornografi itu bisa dijerat dengan pidana penjara begitu."

Lanjut Johanna," tapi permasalahannya di sini, kita harus lihat juga di penjelasan pasal 4 nya. Ini di penjelasan pasal 4 nya itu kan ada ditulis ya. Kalau misalnya ada orang yang membuat konten yang bermuatan pornografi, tapi itu dibuat demi kepentingan pribadi, ya seharusnya dia tidak bisa dipidana begitu."

Selain stigma dan kriminalisasi, Peneliti ICJR Johanna Poerba juga menyoroti respon masyarakat. Bukannya mendukung dan menghentikan aksi penyebaran konten intim nonkonsensual. Malah turut membagikan konten tersebut.

"Ini sangat kami sayangkan. Karena seharusnya korban yang sekarang dalam kondisi rentan begitu ya. Mereka seharusnya mendapatkan dukungan dari masyarakat gitu, untuk diproses kasusnya secara adil begitu ya. Kami khawatir dengan adanya stigma negatif dari masyarakat ini, nanti RK justru semakin terdampak begitu psikologisnya, dalam pemrosesan kasusnya" tutur Johanna.

Baca juga:

Dugaan Serangan Siber Perbankan, Berikut Kiat buat Nasabah Hindari Risiko

Heboh Coldplay dan Kebangkitan Bisnis Konser Musik

Memerangi Relasi 'Red Flag'

Sedangkan, Direktur Lintas Feminis Jakarta, Anindya Nastiti Restuviani atau kerap disapa Vivi mengharapkan adanya keadilan dan bijaksana dalam penanganan kasus penyebaran konten intim nonkonsensual.

Menurut Vivi, korban penyebaran konten intim nonkonsensual memerlukan perlindungan.

"Mengembalikan hak pribadi mereka. Di saat kita melihat ada konten yang misalkan kayak tadi, tiba-tiba sebarkan ya. Berhentilah di kita! Jangan disebarkan lagi gitu kan. Karena itu akhirnya makin melanggar hak privasi dari korban itu sendiri. Kedua tentunya dalam konteks pemulihan secara mental gitu kan," ujar Vivi.

Direktur Lintas Feminis Jakarta, Anindya Nastiti Restuviani menilai, perlu adanya edukasi kepada masyarakat terkait kasus penyebaran konten intim nonkonsensual atau kasus penyebaran konten pribadi lainnya.

Sehingga masyarakat tidak dengan mudahnya memberikan komentar negatif, menjadi penyalur konten-konten intim nonkonsensual di media sosial.

Tak hanya masyarakatnya. Vivi menyebut masalah penanganan kasus ini juga masih bermasalah di taraf Kepolisian.

"Kita sekarang kalau mau menangani kasus tersebut. Harusnya kita menggunakan UU TPKS. Tapi ternyata ya, sayangnya ini belum tersampaikan gitu kan. Banyak dari penegak hukum sendiri yang masih belum melihat konteks Undang-Undang TPKS itu bisa digunakan untuk melindungi korban," pungkasnya.

Lebih lanjut soal kasus penyebaran konten intim nonkonsensual yang menimpa selebritis RK. Yuk simak pembahasannya di podcast What's Trending di link berikut ini:

  • Stop di Kamu!
  • Stop Konten Intim Nonkonsensual!
  • RK
  • Korban Kekerasan Seksual Berbasis Online

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!