KBR, Jakarta- Sebagian kelompok masyarakat mengeluhkan sulitnya mengakses naskah Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP). Salah satunya Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Gita Putri Damayana.
Padahal menurutnya, perlu ada tahapan partisipasi masyarakat, dengan cara memberi kesempatan publik mengakses naskah RUU KUHP tersebut. Ia juga mempertanyakan sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah terkait RUU KUHP.
"Bagaimana kita mau berpartisipasi kalau misalnya perubahan naskahnya. Naskahnya RKUHP yang katanya ada itu tidak terbuka oleh publik. Sependek pengetahuan saya naskah resmi RKUHP masih versi tahun 2019. Sekarang dalam diskusi-diskusi publik RKUHP disebutkan bahwa sudah ada perubahan pasal-pasal dalam RUU tersebut. Kalau ada perubahan lalu bagaimana publik bisa mengaksesnya," kata Gita saat diskusi daring, Kamis (6/5/21).
Ia menyebut kesulitan akses tak hanya terjadi kali ini saja, namun juga pada tahun lalu saat publik mencoba mengakses naskah Undang-Undang Omnibus Law. Kata dia, sosialisasi mestinya juga mengedepankan unsur keterwakilan. Karena itu, ia meminta masyarakat rentan seperti penyandang disabilitas juga dilibatkan dan dimudahkan dalam mengakses perkembangan RUU KUHP.
Sebelumnya, RUU KUHP disorot sebagian besar masyarakat karena terdapat sejumlah pasal yang kontroversial. Salah satunya pasal tentang hukum yang hidup di masyarakat atau living law. Hukum ini sering disebut dengan hukum adat atau hukum tidak tertulis. Pasal ini dinilai dapat memicu munculnya peraturan daerah diskriminatif.
Editor: Sindu Dharmawan