BERITA

BPK Klaim Sudah Miliki Quality Control, Tapi Belum Dapat Hilangkan Kolusi

"Peneliti ICW Firdaus Ilyas menduga praktik suap untuk mendapatkan opini WTP dari BKP sudah berlangsung lama. Modus suap itu setidaknya sudah menjerat 23 pegawai BPK sejak 2015."

Bambang Hari

BPK Klaim Sudah Miliki Quality Control, Tapi Belum Dapat Hilangkan Kolusi
Penyidik KPK memperlihatkan barang bukti operasi tangkap tangan terhadap auditor BPK, dalam kasus dugaan suap opini WTP laporan keuangan Kementerian Desa, di Gedung KPK, Sabtu (27/5/2017). (Foto ANTARA/Sigid Kurniawan)


KBR, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengklaim sudah memiliki quality control system atau sistem untuk menjaga kualitas hasil audit pemeriksaan. Meski begitu, Juru bicara BPK Yudi Ramdan mengakui sistem itu belum dapat menghilangkan praktik kolusi.

"Sistem itu bersifat dinamis. Eskalasi modus selalu bergerak cepat di lingkungannya. Ketua BPK juga telah menyampaikan kasus ini merupakan proses pembelajaran bagi BPK untuk tetap memperkuat sistem yang ada, dan supaya proses pengawasan lebih ditingkatkan lagi," kata Juru bicara BPK Yudi Ramdan, Minggu (28/5/2017).


Yudi Ramdan mengatakan pimpinan BPK sudah berjanji untuk memperketat pengawasan terhadap para auditor yang ada. Pernyataan Yudi itu disampaikan pasca operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap auditor utama BPK Rochmadi Saptogiri, Sabtu (28/5/2017).


Rochmadi diduga menerima suap dari pejabat Kementerian Desa terkait pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK terhadap laporan keuangan Kementerian Desa.


"Kami akan lebih intens menguatkan lini pengawasan, dari sisi quality control, penegakan integritas serta mekanisme review," kata Yudi Ramdan.


Juru bicara BPK Yudi Ramdan mengatakan mekanisme pengawasan juga bisa dilakukan masyarakat melalui pengaduan. Ia mengatakan, BPK sudah memiliki fasilitas yang mudah diakses oleh masyarakat, tanpa harus datang ke BPK.


"Masyarakat bisa akses langsung website kami. Kami juga punya pusat komunikasi informasi," kata dia.

red


Baca juga:


Kasus sudah lama


Kasus penangkapan yang dilakukan KPK terhadap auditor BPK itu tidak mengejutkan bagi lembaga pemantau korupsi Indonesia ICW.


Peneliti ICW Firdaus Ilyas menduga praktik suap untuk mendapatkan opini WTP dari BKP sudah berlangsung lama. Menurut Firdaus, modus suap itu setidaknya sudah menjerat 23 auditor dan pegawai BPK sejak 2015 lalu.


Firdaus menjelaskan 23 pegawai dan auditor BPK itu terjerat dalam enam kasus suap, dimana tiga kasus suap diantaranya merupakan suap untuk mendapatkan opini WTP.


"Ini merupakan puncak dari gunung es. Sementara masih banyak yang tidak terungkap. Ini baru sebagian yang muncul ke permukaan dan berhasil diungkap. Sekarang muncul pertanyaan, jangan-jangan untuk pemberian opini tahun 2016 tidak hanya Kementerian Pedesaan yang diduga laporan keuangannya tidak cukup prudent atau diindikasikan ada faktor kompromi dan kongkalingkong. Tapi juga kementerian lain," kata Firdaus Ilyas.


Firdaus mengatakan berdasarkan catatan ICW maraknya praktek kongkalingkong jual-beli status laporan keuangan itu terjadi pasca pemberlakuan paket Undang-undang Keuangan Negara pada tahun 2004 lalu.


"Sejak paket undang-undang tersebut, status opini wajar tanpa pengecualian terhadap sebuah lembaga pemerintahan dianggap memiliki prestise. Sehingga kerap menjadi patokan keberhasilan sebuah lembaga pemerintahan terhadap pengelolaan keuangan mereka. Padahal proses untuk status itu didapatkan dengan praktek suap," ujarnya.


ICW meminta agar BPK membenahi internal lembaga untuk mengaudit para auditornya.


"Ke depan, harus dipastikan orang-orang yang menjabat auditor di BPK adalah orang yang bersih dari praktek-praktek politik," tambah Firdaus

red


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • WTP
  • laporan keuangan
  • audit bpk
  • ICW
  • operasi tangkap tangan
  • ott kpk
  • KPK

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!