BERITA

AJI Indonesia Minta Pemerintah Permudah Visa Jurnalis Asing

AJI Indonesia Minta Pemerintah Permudah Visa Jurnalis Asing


KBR, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia memprotes keras sikap aparat pemerintah yang mengusir jurnalis asing dari Indonesia.

AJI Indonesia mencatat ada dua jurnalis asing diusir dari Jakarta dan enam jurnalis diusir dari Papua. Pemerintah mengusir delapan jurnalis itu karena dianggap melakukan aktivitas jurnalistik secara ilegal tanpa visa jurnalis.


Ketua Umum AJI Indonesia Suwarjono mengatakan penutupan akses liputan kepada jurnalis asing justru merugikan Indonesia. Penutupan akses itu, kata Suwarjono, membuat media asing tidak mendapatkan sumber informasi langsung sesuai fakta lapangan.


"Kami mendorong pemerintah lebih terbuka memberikan akses kepada liputan jurnalis dari luar negeri," kata Suwarjono kepada KBR, Minggu (14/5/2017).


Dua jurnalis yang diusir dari Jakarta adalah Vilhelm Stokstad dan Axel Kronholm. Mereka adalah jurnalis foto dan pembuat film dokumenter asal Swedia. Sedangkan, enam jurnalis yang diusir dari Papua merupakan jurnalis yang bekerja pada rumah produksi Nagano di Jepang.


Suwarjono mengatakan, penerbitan visa jurnalis di Indonesia sangat berbelit dan cenderung lama. Jurnalis asing yang akan masuk Indonesia akan disaring oleh lembaga clearing house yang melibatkan sejumlah kementerian dan lemabaga negara.


"AJI mendesak agar prosedur yang selama ini menjadi penghalang yakni lembaga clearing house itu ditiadakan dan diganti. Misalnya perizinan seluruhnya berada di tangan Kementerian Luar Negeri," kata Suwarjono.


Rumitnya visa

AJI Indonesia menyebutkan Vilhelm dan Axel sudah diawasi petugas imigrasi usai meliput demonstrasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI pada 5 Mei 2017. Mereka kemudian ditangkap dan dibawa ke kantor imigrasi untuk diinterogasi.


Menurut Vilhelm dan Axel kepada AJI Indonesia, petugas imigrasi meminta mereka tidak mempublikasikan apapun tentang demonstrasi itu, supaya tidak menciptakan kesan keliru tentang Indonesia. Petugas imigrasi juga menekan dua jurnalis Swedia itu dengan mengatakan aktivitas peliputan mereka ilegal.


Kepada AJI Indonesia, VIlhelm menjelaskan proses mengurus visa jurnalis asing di Indonesia sangat rumit dan butuh waktu lebih dari satu bulan. Mulai dari syarat menyerahkan daftar narasumber, hingga surat permintaan izin kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).


Pengusiran lain menimpa enam jurnalis dari Jepang yang sedang membuat video dokumenter di Papua. Selain menahan enam jurnalis asing, imigrasi Papua juga menangkap dua pemandu wisata lokal, pada Rabu 10 Mei 2017. Setelah itu, petugas imigrasi memaksa enam jurnalis Jepang itu keluar dari Indonesia sehari kemudian, pada Kamis, 11 Mei 2017.


Media Japan Times memberitakan pendeportasian jurnalis asing itu terjadi beberapa hari setelah Indonesia menjadi tuan rumah kegiatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2017.


Japan Times memberitakan aparat intelijen melaporkan enam jurnalis film dokumenter itu ke petugas imigrasi setelah proses pembuatan film dimulai. Mereka kemudian dideportasi karena hanya memiliki visa turis yang diperoleh saat kedatangan di Indonesia.


Pada Maret lalu, dua jurnalis asal Prancis Franck Jean Pierre Escudie dan Basille Marie Longchamp dari The Explorers Network, lebih dulu dideportasi. Petugas imigrasi menangkap dan mendeportasi mereka karena membuat film dokumenter di Papua tanpa visa jurnalistik.


Sepanjang 2015 hingga 2016, AJI Kota Jayapura mencatat hanya ada 15 jurnalis asing yang diizinkan masuk ke Papua. Untuk mengurus visa liputan di Papua, seorang jurnalis asal Selandia Baru bahkan membutuhkan waktu tiga bulan. Setelah memperoleh visa jurnalistik, seorang jurnalis asing pun belum tentu mendapat izin peliputan dari polisi dan TNI.


Editor: Agus Luqman 

  • AJI Indonesia
  • aliansi jurnalis independen
  • visa jurnalis
  • jurnalis asing
  • imigrasi
  • Papua
  • clearing house
  • kebebasan pers

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!