BERITA

Tuai Protes, Polri Akhirnya Cabut Telegram yang Larang Media Siarkan Arogansi Polisi

"Surat Telegram tertanggal 5 April itu sebelumnya menuai protes dari berbagai kalangan, dari Dewan Pers, AJI hingga LSM. Surat Telegram itu dianggap mengancam kebebasan pers."

Wahyu Setiawan

Tuai Protes, Polri Akhirnya Cabut Telegram yang Larang Media Siarkan Arogansi Polisi
Ilustrasi

KBR, Jakarta - Markas Besar Kepolisian mencabut Surat Telegram Kapolri yang mengatur peliputan media. Telegram yang dibatalkan itu bernomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021.

Telegram yang diteken Kapolri Listyo Sigit Prabowo pada 5 April 2021 itu berisi 11 poin tentang aturan peliputa bermuatan kekerasan atau kejahatan dalam siaran jurnalistik.

Salah satu isinya, Polri melarang media menyiarkan tindakan polisi yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Polri diminta menayangkan kegiatan polisi yang tegas dan humanis.

Aturan ini menuai protes dari berbagai pihak, dari Dewan Pers, organisasi profesi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia hingga LSM hak asasi manusia seperti KONTRAS.

Menanggapi kontroversi yang muncul, Juru bicara Mabes Polri Argo Yuwono menyatakan telegram itu telah dicabut.

Dalam surat telegram yang diteken hari ini, Argo Yuwono menyatakan telegram soal pelaksanaan peliputan itu dicabut.

"..bahwa ST Kapolri sebagaimana ref nomor empat di atas dinyatakan dicabut/dibatalkan," tulis surat telegram tersebut.

Bias

Sebelumnya, LSM hak asasi manusia KONTRAS menilai surat telegram (ST) Kapolri mengenai ketentuan peliputan media mengancam kebebasan pers.

Wakil Koordinator KONTRAS Rivanlee Anandar mengatakan, secara administratif, surat telegram sebenarnya ditujukan untuk internal kepolisian. Namun dalam telegram tersebut justru menyinggung kerja-kerja media massa secara umum.

"Kelak kalau polisi berdalih ini untuk internal Polri atau medianya Polri, memangnya ada selama ini medianya Polri yang menyampaikan brutalitas aparat? Kan nggak ada. Maka dari itu surat telegram ini seolah-olah dibuat bias untuk membungkam media bekerja," kata Rivanlee kepada wartawan, Selasa (6/4/2021).

Rivanlee mendorong Polri untuk melakukan reformasi struktural ketimbang membatasi kerja-kerja media.

Sebelumnya, Juru bicara Mabes Polri Rusdi Hartono mengatakan Surat Telegram 5 April itu diterbitkan supaya kinerja Polri di daerah semakin apik. Telegram tersebut ditujukan untuk humas-humas kepolisian di daerah.

"Pertimbangannya agar kinerja Polri di kewilayahan semakin baik," kata Rusdi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (6/4/2021).

Total ada 11 poin dalam telegram 5 April yang kemudian dibatalkan itu. Di antaranya ketentuan agar media tidak menyajikan rekaman proses interogasi dan penyidikan terhadap tersangka, tidak menayangkan secara rinci rekonstruksi oleh polisi, tidak memberitakan secara rinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian.

Kemudian, media tidak menayangkan reka ulang kejahatan seksual, menyamarkan gambar dan identitas korban kejahatan seksual, menyamarkan wajah dan identitas pelaku korban dan keluarga kejahatan seksual, tidak menayangkan secara rinci reka ulang bunuh diri, tidak menayangkan adegan tawuran, tidak boleh menyiarkan secara langsung upaya penangkapan pelaku kejahatan, serta tidak menampilkan rinci cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.

Kepolisian mengklaim, ketentuan dalam telegram itu berdasarkan pada Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi (UU No 14 Tahun 2008), Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2017, serta Peraturan Komisi Penyiaran indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (No 01/O/KPI/03/2012).

Editor: Rony Sitanggang

  • Kapolri
  • Mabes Polri
  • kebebasan pers
  • Dewan Pers
  • Kontras
  • kekerasan aparat

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!