BERITA

Anak Muda Tolak Ektremisme Bermotif Agama, Tapi Rentan Intoleran

""Misalkan menganggap di luar Islam itu adalah golongan kafir, itu samapi 37,5 persen. Tidak mengucapkan selamat hari raya keagamaan kepada selain nonmuslim, itu sampai 34,6 persen.""

Sadida Hafsyah

Anak Muda Tolak Ektremisme Bermotif Agama, Tapi Rentan Intoleran
Ilustrasi.

KBR, Jakarta - International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mencatat mayoritas anak muda di Indonesia tegas menolak ekstremisme kekerasan berbasis keagamaan. Meski begitu, INFID juga menemukan fakta lain; anak-anak muda itu rentan bersikap intoleran.

Temuan itu berdasarkan penelitian yang dilakukan INFID pada November-Desember 2020.

Peneliti INFID yang juga Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Ahmad Zainul Hamdi menjelaskan penelitian menyasar sekitar 1.200 anak muda usia 18-30 tahun di 6 kota yaitu Surabaya, Surakarta, Yogyakarta, Makassar, dan Pontianak.

“Secara umum anak-anak muda menolak secara tegas terhadap berbagai kekerasan bermotif agama. Bagi mereka, tindakan kekerasan tidak mencerminkan ajaran agama. Pelaku tindakan kekerasan bermotif agama, disebabkan karena pemahaman pelaku yang tidak mendalam. Survei ini jelas menunjukan adanya pergeseran positif terhadap isu-isu intoleransi. Dengan kata lain ada perkembangan ke arah sikap dan pandangan yang lebih toleran di kalangan anak-anak muda,” ujar Ahmad dalam Media Gathering INFID, Selasa (23/3/2021).

Sayangnya, temuan lain dari penelitian menunjukan anak muda belum terlalu tegas menghindari sikap intoleransi. Tidak seperti ketika tegas menolak kekerasan berbasis keagamaan.

“Sekalipun tidak setuju terhadap beberapa narasi intoleran, namun tingkat persetujuannya juga tergolong tinggi. Misalkan menganggap di luar Islam itu adalah golongan kafir, itu samapi 37,5 persen. Tidak mengucapkan selamat hari raya keagamaan kepada selain nonmuslim, itu sampai 34,6 persen. Cenderung tidak mau berteman dengan orang nonmuslim, itu juga seperti itu persentasinya. Bahkan juga persetujuan terhadap pelarangan Syiah dan Ahmadiyah juga mencapai angka 42,5 persen. Temuan ini mengindikasikan sangat kuat bahwa sementara anak-anak muda memliki penolakan yang tegas terhadap aksi kekerasan bermotif agama, namun mereka sangat rentan untuk menjadi intoleran,” ungkap Ahmad.

Tenaga Profesional Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhanas RI, Ninik Rahayu, menilai sikap anak muda terhadap penolakan kekerasan bermotif agama dan intoleransi, merupakan respon positif dari SKB 3 Menteri tentang Penggunaan Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah.

Meskipun, kata Ninik, ini menunjukan bahwa sikap toleransi masih harus terus ditumbuhkan di kalangan anak muda.

“Catatan saya bahwa hasil survei ini sangat penting menjadi penguat berbagai kebijakan yang ada saat ini masih dianggap kontroversial. Dan tentu saja kita titipkan, selain orangtua, adalah sekolah untuk membangun pengetahuan, membangun persepsi, membangun sikap generasi muda kita untuk lebih toleran dan jauh dari ekstremisme kekerasan,” ujar Ninik.

Ninik mengatakan kolaborasi berbagai pihak diperlukan untuk mengembangkan persepsi dan sikap toleran pada generasi muda.

“Pemerintah harus mengajak semua pihak, termasuk gerakan komunitas yang jumlahnya sangat banyak. Mereka harus menjadi link-link untuk membunyikan SKB 3 Menteri ini. Karena walaupun tidak besar, hasil survei ini masih menunjukan ada celah. Dari hasil temuan ini juga menunjukan bahwa peran media sosial Facebook, Instagram, atau lainnya, bisa mengubah persepsi dan sikap generasi muda kita. Termasuk kawan-kawan media ya, komunitas kawan-kawan media,” ujarnya.

Sekjen Aliansi Jurnalis Independen AJI Indonesia Ika Ningtyas turut mengamini bahwa media juga berperan dalam menekan sikap intoleransi di kalangan anak muda.

“Hasil survei INFID ini menjadi semacam pemantik untuk kita semua. Termasuk kami yang menjadi representasi dari media juga. Karena media dan jurnalis memiliki tanggung jawab yang besar, untuk bagaimana kita menulis soal agama. Jangan sampai karya jurnalistik yang dihasilkan oleh jurnalis dan dipublikasikan justru memperparah. Ini juga menjadi catatan penting, bagi kawan-kawan jurnalis supaya ke depannya nanti bisa lebih banyak berkolaborasi. Tentunya di sini kita sudah memiliki peran masing-masing. Dan saya kira ketika kita bisa memaksimalkan peran kita masing-masing dengan cara kolaborasi itu, semoga apa yang menjadi harapan kita semua bisa terwujud,” kata Ika, Selasa (23/3/2021).

Editor: Agus Luqman

  • INFID
  • intoleran
  • ekstremisme

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!