NASIONAL

Kekerasan Kolektif Turun di 2022, Korban Meningkat

"Jumlah korban justru meningkat lebih dari 50 persen."

Muthia Kusuma Wardani

Kekerasan Kolektif Turun di 2022, Korban Meningkat
Ilustrasi: Kekerasan kolektif. Foto: Antara

KBR, Jakarta- Jumlah kasus kekerasan kolektif pada 2022 mencapai 1.114 peristiwa, atau menurun 8,7 persen dibanding 2021. 

Catatan tersebut disampaikan Pusat Studi Strategis dan Internasional dalam seminar: ”Kekerasan Kolektif di Indonesia Tahun 2022: Temuan dan Analisis”, yang digelar daring dan luring, Senin, 20 Februari 2023.

Meski menurun, jumlah korban justru meningkat lebih dari 50 persen. Yaitu lebih dari 2.100-an korban luka dan jiwa. Sekira 700-an di antaranya korban kekerasan Tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Alif Satria mengatakan kekerasan kolektif yang dicatat merupakan kekerasan dengan penggunaan kekuatan fisik atau ancaman kekuatan fisik yang disengaja yang dilakukan oleh atau terhadap sekelompok orang.

Artinya, semua kekerasan melibatkan lebih dari satu orang, semisal terorisme, separatis, antar-kelompok maupun kekerasan penegak hukum.

Kekerasan kolektif terbanyak ada di wilayah Indonesia Timur, semisal Papua. Metode yang dipakai menghitung adalah dengan melihat intensitas tertinggi dan jumlah intensitas kolektif dibagi satu juta populasi. Di sana, ada tiga wilayah mengalami intensitas hampir 5 kali lebih tinggi dibanding rata-rata nasional.

"Lonjakan insiden ini terjadi pada bulan November, terjadi paling besar di dua provinsi. Pertama adalah provinsi Sulawesi Selatan. Di mana Provinsi Sulawesi Selatan mengalami 2,5 kali rata-rata bulanan jumlah insiden kolektif di provinsi tersebut. Dan ini kebanyakan terjadi karena terjadinya kekerasan di Kota Pelajar dan kekerasan main hakim sendiri di Kota Makassar. Provinsi kedua yang berkontribusi pada lonjakan insiden kolektif adalah provinsi Papua," ucap Alif dalam keterangan pers daring, Senin, (20/02/2023).

Tiga Isu Utama

Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Alif Satria, menambahkan, ada tiga isu utama yang kerap memicu kekerasan kolektif, yakni main hakim sendiri, isu kriminal dan isu identitas.

Jumlah kekerasan kolektif yang masih tinggi ini tidak diimbangi upaya intervensi untuk menekan kasus. Menurut Alif, tingkat intervensi kekerasan kolektif 2022 masih rendah seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dari lebih seribuan kasus kekerasan kolektif, hanya 265 insiden yang diintervensi aparat keamanan maupun aktor nonnegara.

“Kami menemukan bahwa mengkhawatirkannya efektivitas intervensi itu sendiri di Tahun 2022 itu menurun. Di tahun 2021 lebih dari 74% insiden yang diintervensi itu berhasil diintervensi, artinya korban berhasil diselamatkan, kekerasan berhasil dihentikan, atau aktor kekerasan berhasil diseparasi. Di tahun 2022 hanya 56% dari semua intervensi itu berhasil. Jadi ada penurunan sekitar 20% dan itu menurut saya cukup mengkhawatirkan untuk ke depannya. Apalagi kita akan memasuki tahun-tahun politik,” ungkap Alif.

Aktor Nonnegara

Alif mencatat aktor nonnegara justru lebih efektif melakukan upaya intervensi kekerasan kolektif dibanding aparat penegak hukum. Oleh karena itu, ia mendorong aparat penegak hukum membenahi upaya intervensi agar lebih efektif menekan kekerasan kolektif.

Khusus di Papua dan Papua Barat, CSIS mencatat ada penurunan kasus kekerasan oleh separatis sebanyak 25 persen. Yaitu, dari 68 insiden pada 2021 menjadi 51 insiden pada 2022. Tak hanya jumlah, di tahun itu jumlah korban kekerasan separatis juga menurun dari 114 menjadi 70 korban.

Catatan Pemerintah

Menanggapi hal itu, pemerintah mengeklaim memiliki catatan sendiri terkait insiden kekerasan yang terjadi di tanah air. Kementerian Dalam Negeri khusus menyoroti kekerasan yang masuk indikator Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial.

Kepala Subdirektorat Penanganan Konflik Direktorat Kewaspadaan Nasional Kemendagri, Anug Kurniawan mengatakan sepanjang 2022 terdapat 167 peristiwa kekerasan di berbagai daerah. Jumlah itu meningkat dibanding 2021, yakni 138 kasus.

"Kami sudah melakukan beberapa langkah termasuk dengan Pemprov DKI ini yang sering terjadi terkait dengan anak sekolah (kekerasan antar-pelajar). Kami juga koordinasikan dengan kesbangpol dalam artian kami ingin mencari langkah-langkah apa yang bisa untuk mengurangi peristiwa itu bisa menurun ke depannya, sebagaimana yang tertera di dalam ini. Kami mencatat ada 167 peristiwa terdiri dari politik ekonomi sosial budaya ada 164 peristiwa, sengketa batas wilayah 2 peristiwa, dan sengketa sumber daya alam satu peristiwa,” ungkap Anug dalam kesempatan yang sama.

Anug mengeklaim, pemerintah telah berupaya mengintervensi agar angka kekerasan di masyarakat menurun. Antara lain dengan melakukan pencegahan, penghentian konflik, serta pemulihan pascakonflik termasuk rekonsiliasi, rekonstruksi dan rehabilitasi.

Upaya Strategis

Dalam kesempatan itu, Ketua Majelis Pemusrawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mendorong pemerintah menyusun upaya strategis untuk menekan kekerasan kolektif sesuai temuan CSIS.

Selain itu, ia juga meminta Kepala Polri Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Yudo Margono mengambil langkah intervensi tegas, termasuk upaya preventif, terutama di wilayah rawan teradi kekerasan kolektif. 

Lalu, untuk seluruh pemangku kepentingan, diserukan untuk berkoordinasi dan menyelesaikan kekerasan sesuai Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial.

Baca juga:

Editor: Sindu

  • CSIS
  • Kemendagri
  • Kekerasan Kolektif 2022
  • konflik papua
  • Papua

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!