NASIONAL

Kedelai Mahal, Anggota DPR Desak Perbaikan Regulasi Importasi seperti Impor Bawang

""Hampir 80 persen kebutuhan kedelai kita ini dicukupi dari impor. Sudah lama sekali para importir ini mengambil keuntungan dari regulasi yang tidak berpihak kepada produksi di dalam negeri.""

Muthia Kusuma

kedelai
Pekerja menyiapkan kedelai impor di sentra industri tahu, Kelurahan Tinalan, Kota Kediri, Jawa Timur, Senin (21/2/2022). (Foto: ANTARA/Prasetia Fauzani)

KBR, Jakarta - Komisi Bidang Pertanian di DPR RI mendorong pemerintah mengendalikan harga kedelai yang tengah melonjak di pasaran.

Anggota Komisi Pertanian DPR dari Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah mengatakan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan harus menjadikan kondisi ini sebagai momentum untuk membenahi masalah rendahnya produksi dalam negeri dan tingginya ketergantungan dengan asing, mulai dari hulu hingga ke hilir.

Pembenahan termasuk soal penyediaan bibit unggul kedelai dan lahan tanamnya, hingga penentuan harganya di pasaran.

"Kita sudah lama sekali tidak punya kemandirian soal kedelai. Bahkan tidak ada tata niaga tentang kedelai. Kedelai tidak dianggap sebagai komoditas strategis yang dilindung pemerintah melalui tata niaganya. Hampir 80 persen lebih yang namanya kebutuhan kedelai kita ini dicukupi dari impor. Sudah lama sekali para importir ini mengambil keuntungan dari regulasi yang tidak berpihak kepada produksi di dalam negeri," kata Luluk kepada KBR, Senin, (21/2/2022).

Baca juga:


Saat ini Indonesia termasuk negara importir kedelai terbesar di dunia, di bawah Tiongkok. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai dalam setahun mencapai di atas 2 juta ton. Bahkan pada 2020 hingga 2021, impor kedelai mencapai 2,4 juta ton.

Luluk Nur Hamidah mengatakan, konsumen serta para produsen tempe dan tahu berharap pemerintah dapat mengendalikan harga kedelai yang tengah melonjak dan memastikan tidak ada kelangkaan di pasaran. Karena itu, ia mendorong adanya kemandirian negara dalam memproduksi kedelai.

"Kebutuhan akan kedelai itu sudah sedemikian besarnya, dan masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konsumsi tahu dan tempe. Mestinya ini jadi atensi khusus. Harusnya kedelai itu dianggap komoditas seperti tahun-tahun dulu seperti era Soeharto, sehingga semuanya bisa diamankan," tambahnya.

Harga kedelai terus melonjak naik sejak 2020. Pada akhir 2020, harga kedelai yang semula hanya Rp7.000 per kilogram, naik hingga Rp9.000 di awal 2021. Kata dia, sejak saat itu, harga terus naik sampai pada akhir tahun lalu mencapai Rp10.200, dan saat ini, harga kedelai mencapai Rp11.300.

Luluk Nur Hamidah membeberkan permasalahan produksi kedelai dalam negeri, sehingga sebagian besar kebutuhan nasional dipenuhi dari impor. Semisal biaya produksi dengan harga jual kedelai yang dinilai tidak kompetitif. Dengan demikian, pemerintah diharapkan melindungi petani kedelai lokal melalui mekanisme harga kedelai di pasaran.

"Kalau mau mendorong agar petani kita mau menanam kedelai. Dengan cara apa? Naikanlah APBN-nya. Kemudian juga sediakan benih bibit yang unggul. Kalau dengan harga sekarang, petani lebih memilih tanam jagung. Sementara kedelai ini kebutuhannya besar sekali. Makanya kerjanya Kementan kalau konteksnya penyediaan benih, kemudian harganya jadi kebijakan Kementerian Perdagangan untuk bisa ditentukan, supaya bisa membentuk dan melindungi petani di masa panennya," imbuhnya.

Baca juga:

Tekan importasi kedelai

Lebih jauh Luluk menjelaskan, pemerintah harus menekan presentase impor yang diperkirakan mencapai lebih dari 80 persen dengan memperluas lahan penanaman kedelai di dalam negeri.

"Ketentuan soal importasi, jangan kaya sekarang. Importasi kita los dol, tidak ada aturan. Impor bisa dilakukan sebesar maunya-maunya importir. Seharusnya membutuhkan pelarangan terbatas atau dibikin kuota. Kalau sekarang misalnya anggaplah 85 persen importasi, bisa tidak itu ditekan jadi 50 persen saja dari importasi?" kata Luluk.

Selain itu, Politikus PKB ini mendorong pembentukan aturan yang menguatkan produksi kedelai dalam negeri, semisal dengan mewajibkan importir untuk tanam kedelai yang saat ini belum berlaku.

"Importir itu tidak ada kewajiban untuk tanam kedelai. Tidak seperti bawang. Kalau importasi bawang itu kan ada kewajiban tanam dalam negeri yang itu dibebankan kepada importir dalam negeri. Dan mereka bahkan bisa dikenakan semacam izin atau rekomendasi impor kalau kemudian tanam bawangnya belum beres. Sebaliknya, kedelai sama sekali tidak ada. Enak sekali importir kedelai ini. Mereka tidak ada tanggung jawab apa-apa. Tidak punya urusan dengan Merah Putih, tidak punya urusan dengan nasionalisme. Mereka yang penting untung," ungkap Luluk.

Selain itu, ia juga meminta agar pemerintah memfasilitasi gabungan koperasi pengrajin tahu tempe untuk dapat langsung mengimpor kedelai dari koperasi tani negara-negara produsen kedelai, seperti Amerika dan Brazil. Tujuannya agar para pengrajin tahu tempe mendapat harga kedelai yang lebih terjangkau, tanpa melalui perantara importir.

"Kenehan berikutnya, yang menurut saya ini penting, ini kan ada gabungan koperasi pengrajin tahu tempe, mereka itu membelanjakan untuk kedelai itu katanya rata-rata per tahun bisa hampir Rp3 triliun. Lalu itu belanjanya dari mana? Dari para importir. Saya pernah bilang, kenapa koperasi tidak melakukan impor langsung untuk kebutuhan mereka? Sehingga kita putus mata rantainya ini yang selama ini besar di importirnya," ungkap Lulu.

Kemitraan petani kedelai

Luluk juga mengusulkan agar pemerintah menyediakan program kemitraan antara petani kedelai lokal dengan pengrajin tahu tempe. Kata Luluk, program itu harus diperkuat dengan nota kesepahaman (MoU) untuk membentuk kerja sama yang saling menguntungkan.

"Jadi kan enak, petani tanam sudah jelas siapa yang membutuhkan kedelainya. Para pengrajin tahu tempe, dibikin MoU yang difasilitasi Kementan. Kalau ini yang kita lakukan, saya kira ini sudah menyelamatkan dari hulu ke hilir, termasuk petaninya, pengrajinnya, juga konsumennya," ucapnya.

Dalam jangka waktu dekat ini, Luluk mendorong agar pemerintah mengintervensi harga kedelai di pasaran dengan mengadakan operasi pasar.

"Kita minta para importir itu yang masih punya cadangan, sudah dikeluarkan saja. Misalnya cadangan kedelainya dijual dengan harga yang sama ketika mereka masih beli. Jangan ketika beli---katakanlah harganya masih murah kemudian sekarang dijual dengan harga sekarang, ini kan tidak fair untuk pengrajin tahu tempe dan konsumen. Jangan masyarakat dikorbankan. Jadi saya kira bisa dicek bareng-bareng, entah oleh Kemendag atau Kementan. Panggil para pengusaha impor. Tanya lagi, cek gudang-gudangnya, mereka masih punya tidak itu kedelai? Ini bisa menutup kebutuhan jangka pendek, sambil kemudian dievaluasi mulai dari tata kelola dan tata niaganya," lanjut Luluk.

Luluk juga meminta pemerintah untuk menguatkan peranan Bulog dalam menyimpan cadangan kedelai nasional.

"Kenapa tidak mempercayai kepada Bulog. Bulog kan sudah jelas, BUMN pangan dan dia dulu, sebelum dikerjain sama IMF, Bulog kan cuma mengurus kedelai. Bulog kan tidak lagi mengurus kedelai karena permintaan IMF karena kita punya utang sama dia. Ketika utang lunas, kenapa kemudian kebijakan itu tidak dipulihkan kembali, kasih kepercayaan Bulog lagi begitu, iya kan? Ini kan sudah terlalu mengenakan para importir. Jangan-jangan ini karena memang ya biasalah ya entah ini kekuatan para pemodal, oligarki yang memang mengambil keuntungan sangat besar, sehingga BUMN milik negara pun kalau perlu dikecilkan," kata Luluk.

Editor: Agus Luqman

  • Kedelai
  • komoditas pertanian
  • swasembada pangan
  • Tahu dan Tempe

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!