NASIONAL

Perpu Cipta Kerja Menuai Penolakan, Jokowi: Biasa

""Tapi, semua bisa kita jelaskan," kata Jokowi."

Heru Haetami, Astri Septiani

Perpu Cipta Kerja Menuai Penolakan, Jokowi: Biasa

KBR, Jakarta- Presiden Joko Widodo menganggap biasa penolakan dari berbagai kalangan terkait penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

"Ya, biasa dalam kebijakan dalam setiap keluarnya regulasi ada pro dan kontra," kata Jokowi usai Meninjau Pasar Tanah Abang, Jakarta, Senin, (3/1/2023).

Jokowi menegaskan pemerintah bisa menjelaskan kepada pihak-pihak yang kontra terhadap penerbitan Perppu Cipta Kerja ini.

"Tapi, semua bisa kita jelaskan," katanya.

Perpu diterbitkan Jokowi pada Jumat, 30 Desember 2022. Alasannya antara lain kondisi perekonomian Indonesia, yang meski terlihat normal, namun masih dibayangi ketidakpastian global.

"Dunia sedang tidak baik-baik saja. Ancaman-ancaman risiko ketidakpastian itulah yang menyebabkan kita mengeluarkan perpu, karena itu untuk memberikan kepastian hukum, kekosongan hukum, yang dalam persepsi para investor baik dalam maupun luar. Itu yang paling penting, karena ekonomi kita ini di 2023 akan sangat bergantung pada investasi dan ekspor," ujar Jokowi di Istana Presiden, Jakarta, Jumat, (30/12/2022).

Bertolak Belakang

Alasan kondisi ekonomi yang jadi penerbitan perpu disanggah Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Menurutnya, alasan kegentingan memaksa yang menjadi dalih pemerintah, justru bertolak belakang dengan kondisi perekonomian nasional.

"Berkaitan dengan perpu, ada alasan dari pemerintah tentang kegentingan memaksa. Padahal, kegentingan yang memaksa itu, harusnya ekonomi tahun depan diproyeksi oleh pemerintah dalam asumsi APBN itu minus, baru ada kegentingan memaksa. Tetapi, kalau ekonomi tahun depan dalam APBN proyeksinya bisa tumbuh sampai 5,3 persen, ini kan lebih tinggi dari pra-pandemi," kata Bhima, Senin, (2/1/2023).

Sudut Pandang Hukum

Dari sudut pandang hukum, Pakar Hukum Tata Negara Susi Dwi Hariyanti menilai Perpu Cipta Kerja tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa. Unsur ini jadi salah satu pertimbangan penerbitan perpu.

"Perintah MK yang selanjutnya yaitu melakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan, harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22a Undang-Undang Dasar 1945, menurut saya tidak dilaksanakan," kata Susi kepada KBR, Senin, (2/1/2023).

Penolakan

Penerbitan perpu juga ditolak serikat buruh. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat menyebut Presiden Jokowi tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, pada 25 November 2021.

Kata dia, MK dalam putusannya memerintahkan kepada pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu dua tahun. 

Selain itu, pemerintah diminta menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta dilarang menerbitkan peraturan pelaksana baru sebagai turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.

"Sehingga demi memenuhi rasa keadilan masyarakat dan memberikan kepastian hukum sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, maka pemerintah seharusnya menerbitkan perpu untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja, dan mengembalikan berlakunya seluruh undang-undang yang terdampak Omnibus Law," kata Mirah dalam keterangannya kepada media, Sabtu, (31/12/2022).

Mirah menyebut, yang dibutuhkan kalangan buruh adalah perpu pembatalan UU Cipta Kerja. Menurutnya UU omnibus law tidak hanya bermasalah secara formil tetapi juga materiil.

"Dampak buruk Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja khususnya kluster ketenagakerjaan, telah membuat pekerja Indonesia semakin miskin. Hal ini karena Undang-Undang Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah, dan juga jaminan sosial bagi pekerja Indonesia," katanya.

Baca juga:

Editor: Sindu

  • Perpu Cipta Kerja
  • MK

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!