NASIONAL

Vonis Ringan Pelaku Perusakan Masjid Jemaah Ahmadiyah di Sintang

"Proses persidangan dinilai tidak profesional."

Muthia Kusuma

vonis ringan pelaku perusakan masjid Ahmadiyah
Perusakan Masjid Ahmadiyah di Tempunak, Sintang, Kalimantan Barat. (Foto: Media sosial).

KBR, Jakarta- Vonis ringan terhadap 21 pelaku perusakan Masjid Miftahul Huda di Desa Bale Harapan, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, menuai kecaman. Para pelaku itu divonis 4 bulan 15 hari oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak, atas perkara perusakan rumah ibadah milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). 

Putusan yang dijatuhkan pada 6 Januari 2022 itu ditetapkan setelah melalui serangkaian proses sidang yang dinilai janggal, dan tidak berpihak kepada korban.

Salah satu yang mengecam vonis tersebut ialah Setara Institute, sebuah LSM yang memperjuangkan tentang demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia

Menurut Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan vonis itu terlalu ringan. Padahal kata dia, ancaman hukuman maksimal untuk pasal KUHP tentang kekerasan secara bersama terhadap orang atau barang mencapai 6 tahun penjara.

"SETARA Institute mengecam keras putusan sangat ringan yang dijatuhkan kepada para pelaku. Putusan tersebut tidak memberikan keadilan bagi korban. Selain itu, putusan tersebut menegaskan tren ketidakmampuan pengadilan untuk menjatuhkan hukuman yang memberikan efek jera bagi kelompok intoleran dan vigilante yang melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap kelompok agama minoritas," ucap Halili kepada KBR, Jumat, (14/1/2022).

Baca juga:

Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan mendesak Komisi Yudisial RI dan Komisi Kejaksaan RI memeriksa dan menjatuhkan sanksi kepada majelis hakim dan jaksa yang menangani perkara ini.

Halili beralasan, proses persidangan dinilai tidak profesional. Menurutnya, jaksa tampak tidak serius dengan hanya menuntut para tersangka 6 bulan penjara dan selama persidangan tidak bersungguh-sungguh mendalami tindak pidana yang didakwakan. 

Pun demikian dengan majelis hakim. Kata dia, sejak awal proses persidangan diarahkan untuk menghakimi keyakinan para korban, bahkan membiarkan ujaran kebencian terhadap saksi korban yang dihadirkan dalam persidangan.

Halili menilai, peradilan kasus hasutan dan perusakan Masjid Miftahul Huda Sintang di PN Pontianak melanjutkan tren ketidakadilan dalam penanganan kasus korban kelompok agama minoritas. Proses persidangan cenderung menghakimi keyakinan korban dan menjadikan korban sebagai pihak yang dikorbankkan ulang (re-viktimisasi).

Baca juga:

Selain itu, putusan yang diambil menguatkan praktik populisme yudisial, yakni pengadilan cenderung dipengaruhi pandangan dan keberpihakan kepada kelompok yang mengklaim atau diklaim mewakili sikap mayoritas.

Pascaputusan itu, Halili mendesak kepolisian melindungi warga Ahmadiyah di Kalimantan Barat, khususnya di Balai Harapan Tempunak Sintang.

"Hal itu berkaitan dengan segera akan bebasnya para terpidana dan mempertimbangkan situasi terkini di Balai Harapan. Di samping itu, aparat kepolisian juga harus mengantisipasi ketegangan dan gangguan keamanan yang dipicu oleh kelompok intoleran dan vigilante. Dalam pemantauan SETARA Institute dan Tim Advokasi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, saat ini kembali marak spanduk-spanduk ujaran kebencian terhadap Ahmadiyah," ucap Halili.

"Selain itu, beberapa pelaku juga mengeluarkan ancaman terjadinya kerusuhan antar-identitas di Sintang dan Kalimantan Barat," pungkasnya.

Editor: Sindu

  • Ahmadiyah
  • Setara Institute
  • Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
  • Diskriminasi Minoritas
  • Kalimantan Barat

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!