CERITA

Minoritas Muslim Rohingya Dibatasi untuk Menikah

"Myanmar membatasi jumlah pernikahan etnis Rohingya. Pasangan kekasih harus mendapatkan izin dari pemerintah untuk menikah. "

Banyol Kong Janoi

Komunitas Rohingya di Bu Thee Tuang, di bagian utara Negara Bagian Rakhine (Foto: Banyol Kong Janoi
Komunitas Rohingya di Bu Thee Tuang, di bagian utara Negara Bagian Rakhine (Foto: Banyol Kong Janoi )

Kyaw Kyaw Oo, 25 tahun, membawa saya ke tempat yang aman.

Dia tidak mau bertemu saya di tempat umum. Untuk melakukan wawancara, kami harus menempuh perjalanan sekitar satu kilometer dari ibukota menuju komunitas Rohingya.

Ia juga tidak mau nama aslinya disebutkan dengan alasan keamanan.

Ia adalah etnis Rohingya yang sedang menunggu izin untuk menikah dengan pacarnya.

“Saya lulus sekolah tiga tahun lalu dan sudah mengajukan izin menikah sejak dua tahun lalu. Saya dengar jika Anda membayarkan sejumlah uang maka Anda dengan cepat bisa dapat izin,” kisah Kyaw.

Ia harus menyuap petugas sekitar Rp 2 juta rupiah.

Tahun 1994, pemerintah Burma mengeluarkan perintah pembatasan perkawinan etnis Rohingya.

Pasangan Rohingya yang menikah tanpa izin bisa masuk penjara.

“Salah satu teman saya mengajukan izin untuk menikah. Dokumennya sudah disetujui tapi ia tidak punya uang untuk menyuap petugas, sehingga ia tidak mendapatkan surat-suratnya. Tapi ia tetap menikah. Setelah itu petugas datang menangkap dia dan dia masuk penjara tujuh tahun,” tambah Kyaw.

Menurut LSM Arakan Project, yang mencatat kasus-kasus pelanggaran HAM terhadapa etnis Rohingya, izin menikah biasanya baru keluar setelah membayar suap dan menunggu cukup lama. 

Butuh waktu dua tahun atau lebih lama untuk dapat izin.

Chris Lewa dari Arakan Project menjelaskan alasan pemerintah melakukan pembatasan ini. 

“Bagi saya, ini jelas taktik pemerintah untuk membatasi populasi. Dalam satu sesi di parlemen, Kementerian Imigrasi menjelaskan kalau mencegah pernikahan adalah acara untuk mengurangi penduduk,” tutur Chris Lewa.

Dan hasilnya, ada banyak kasus pernikahan ilegal diantara etnis Rohingya.

“Kami menemukan banyak pasangan yang lari ke Bangladesh karena mereka tidak bisa menikah di Burma dan orangtuanya tidak bisa membayar biaya menikah. Di kasus lain, para pasangan itu tetap menikah tanpa izin. Dan kalau perempuannya hamil, dia harus menggugurkan bayinya karena itu jadi bukti hidup kalau mereka menikah secara ilegal. Pasangan yang menikah tanpa izin bisa masuk penjara sampai lima tahun, biasanya yang kena pihak laki-laki.”

Dan kalau pun mereka menikah, orangtua etnis Rohingya harus menandatangani perjanjian untuk tidak punya anak lebih dari dua orang.

Arakan Project mengatakan pemerintah menghukum anak-anak Rohingya dengan memasukkan mereka dalam 'daftar hitam' jika orangtuanya tidak punya izin nikah.

Pemerintah mengumumkan ada tujuh ribu anak Rohingya yang lahir tahun ini tidak terdaftar.

Jika ditotal, diperkirakan ada sekitar 40 ribu anak tidak terdaftar.

“Pemerintah tidak mengeluarkan akta kelahiran bagi anak-anak sejak pertengahan tahun 90an. Ini artinya akan sulit membuktikan kalau seorang anak lahir di negara ini. Jika seorang anak tidak terdaftar, ia tidak akan pernah dapat akta, tidak bisa bepergian dan tidak bisa bersekolah. Saat dewasa ia tidak bisa menikah karena tidak punya surat-surat,” kata Chris Lewa.

Dalam suratnya ke PBB baru-baru ini, Presiden Thein Sein, mengatakan pemerintah Burma siap mengatasi masalah kewarganegaraan Rohingnya yang sensitif.

Ia juga berjanji untuk menyelesaikan masalah lain seperti izin kerja dan memberikan kebebasan untuk berpindah tempat bagi etnis Rohingya. Namun, ia tidak menyinggung soal pembatasan pernikahan.

Arakan Project mendesak pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini.

“Jika orangtua ingin mengakui seorang anak adalah anaknya, mereka tahu mereka akan masuk penjara karena menikah secara ilegal. Jadi mereka tidak pernah mencatatkannya. Mereka menyembunyikan anak-anak itu atau mengirimnya ke luar negeri. Kami mendengar kisah anak-anak Rohingya yang ditinggalkan di kamp pengungsi di Bangladesh. Ini situasi yang menyedihkan bagi anak-anak itu dan ibunya. Masalah pernikahan ini merupakan pelanggaran HAM berat terhadap masyarakat,” tambah Chris Lewa.

 

  • Rohingya Myanmar
  • Pernikahan orang Rohingya
  • Banyol Kong Janoi
  • pengungsi Rohingya
  • Toleransi

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!