CERITA

Mogok Makan Demi Nasib PRT

""Dia bekerja ketika kita meninggalkan anak, rumah dalam kondisi yang berantakan.""

Evilin Falanta

Aktivis pembela nasib PRT di depan Kantor Menteri Tenaga Kerja. Mereka menuntut pemerintah membahas
Aktivis pembela nasib PRT di depan Kantor Menteri Tenaga Kerja. Mereka menuntut pemerintah membahas RUU PPRT tahun ini bersama DPR. (Foto: Evelyn Falanta)

Ratusan orang dari berbagai profesi seperti buruh, aktivis, mahasiswa hingga jurnalis secara bergantian melakukan aksi mogok makan. Ini dilakukan sebagai bentuk desakan kepada DPR dan Pemerintah agar mengesahkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang selama 10 tahun ditelantarkan. 


“Nama saya Jumiyem, pekerjaan saya PRT dari tahun 1991 sampai sekarang. Saya bergabung dalam rally mogok makan ini dari tanggal 7 Maret. Nah, itu akan saya ikutin terus dan ini sebagai bentuk keprihatinan saya karena RUU PRT yang kemarin DPR janjikan mau memasukkannya menjadi prioritas di 2015 tapi malah dikeluarkan. Sudah tidak ada cara lain. Kami sebagai PRT merasa selalu dibohongi karena hanya dijanji-janjikan saja.” 


“Selama ini saya bekerja lebih banyak tidak mendapatkan hak saya sebagai pekerja. Saya bekerja kan dari usia anak waktu masih 15 tahun. Gaji saya juga sangat rendah apalagi hari libur paling sebulan sekali pulang tapi itu aja enggak boleh lama. Padahal PRT kan juga berhak mendapat libur mingguan.”


Perempuan berumur 40 tahun itu akrab disapa Jumi. Selama 23 tahun menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) tak pernah ia tahu apa saja hak-haknya. Barulah setelah bergabung dalam sebuah organisasi PRT, ia mulai menyadari hak-hak yang selama ini terabaikan. Dan, kini ia tengah memperjuangkan nasibnya dengan aksi mogok makan.


Aksi mogok makan yang dilakoni Jumiyem, bukan tanpa alasan. Profesi PRT selalu dianggap sebelah mata, bahkan karena ruang kerjanya di ranah domestik, sulit tersentuh hukum negara jika terjadi kekerasan. 


Karena itu muncul lah, suatu aksi bersama “rally mogok makan” yang dilakukan sekitar 500 aktivis secara bergantian. Tujuannya mendesak pemerintah mengesahkan UU PPRT. 


Seorang buruh perempuan di perusahaan tekstil KBN Cakung, Jakarta Timur ikut menunjukkan kepeduliannya lewat aksi mogok makan.


“Nama saya Sri Rahmawati, pekerja perempuan di suatu perusahaan garmen yang padat karya. Hari ini saya mogok makan PRT karena saya merasa sebagai perempuan dan hal yang sama pun akan terasa ke kita. Walaupun mereka ini pekerja rumah tangga tapi itu posisi yang sama bagi kita perempuan pekerja. Saya mendukung karena mereka harus dianggap sebagai pekerja di Indonesia bukan cuma sebagai pembantu rumah tangga tapi emang benar-benar harus diakui tenaganya karena memang membantu sekali untuk kita.” 


Tak hanya buruh, mahasiswa juga ikut aksi mogok makan.


“Nama saya Margaret Gramanda. Saya mahasiswa Universitas Mulawarman. Saya mogok makan  untuk mendukung kawan-kawan PRT karena banyak kawan-kawan di luar negeri kaum-kaum pekerja rumah tangga itu tidak diakui, bahkan sampai disiksa. Makanya, kami dari mahasiswa mendukung sekali aksi solidaritas ini untuk mendesak pemerintah segera untuk mengesahkan undang-undang ini,” tegas Margaret. 


Jurnalis perempuan pun tak ketinggalan.


“Saya Luviana, seorang wartawan dan juga mewakili Lembaga Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Jakarta. Saya ikut dalam rally mogok makan bersama kawan-kawan perempuan di seluruh Indonesia dan beberapa kawan Indonesia di luar negeri karena solidaritas ini sangat penting untuk PRT. Saya miris melihat ada orang yang tidak diakui keberadaannya tetapi dia bekerja setiap hari. Dia bekerja ketika para jurnalis meninggalkan anak, rumah dalam kondisi yang berantakan.”


Pelopor aksi yang merupakan Koordinator Jaringan Advokasi Nasional (JALA) PRT, Lita Anggraeni bercerita alasan di balik mogok makan ini.


“Tiga kali pemerintahan dan tiga kali periode DPR, dan justru pada 2015 ini RUU tidak jadi prioritas pembahasan. Ini menunjukkan betapa tidak punya tanggungjawab DPR dan pemerintah terhadap perlindungan PRT. RUU PRT dan konvensi ILO itu penting ketika kita mendesakkan ke negara lain. Di dalam negeri sendiri PRT juga harus dilindungi, sehingga kita juga punya konsistensi dan punya kekuatan tawar menawar ketika kita meminta negara tujuan untuk memberikan perlindungan kepada PRT Migran,” papar Lita. 


Ia juga mengatakan, berbagai profesi yang ikut dalam aksi solidaritas terhadap nasib PRT itu akan tetap mogok makan sampai seruan mereka didengar DPR dan pemerintah.


“Kami lakukan mogok makan ini sampai DPR segera membahas RUU PRT dan ratifikasi konvensi ILO sebagai bagian dari Prolegnas 2015 dan segera mengesahkannnya.” 


Editot: Antonius Eko  

  • PRT
  • mogok makan
  • Toleransi
  • toleransi
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_biru

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!