Article Image

SAGA

Kopi Qertoev, Secangkir Kisah Perjuangan dan Nasionalisme dari Gayo (Bagian 1)

Win Hasnawi menjadi pionir memperkenalkan kopi Gayo ke Jakarta. (Dok: KBR/ Valda)

KBR, Jakarta- Harum aroma kopi merebak seketika, begitu biji-biji berwarna gelap itu digerus mesin penggiling. 

Di bangunan sederhana mirip warung kopi ini, Win Daulat Hasnawi biasa menerima tamu dan berdiskusi sampai larut malam.

Para pecinta kopi kerap singgah ke rumah Win, ditemani seduhan kopi, lelaki kelahiran Takengon, Aceh ini tak bosan bercerita tentang kopi yang sudah jadi bagian hidupnya.

“Setiap orang Gayo kalau gak punya kopi berarti dia bukan orang Gayo. karena mereka hidup di antara pepohonan kopi di sana, jadi 90% wilayah kita itu adalah kopi,” kata Win ditemui di rumahnya yang berada di ujung jalan Menjangan III, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.

Lahir di keluarga petani tradisional membuat Wim familiar dengan tanaman kopi sejak kecil. Namun, pengetahuannya tentang kopi dan segenap potensinya baru terasah pascatsunami 2004. 

Ia mendapat pelatihan difasilitasi LSM asing yang kala itu membantu pemulihan ekonomi Aceh.

“Karena sudah turun-temurun kopi kita itu. Petani-petani di sana kok hidupnya seperti ini aja? padahal kopi ini konsumsi dunia. Aku mintanya diajarin tentang keilmuan kopi dari hulu sampai hilir,” kenang Win.

Pria 48 tahun ini belajar cara mengolah kopi dengan standar internasional

“Belajar sangrai dari orang Meksiko. Saya ditantang harus bisa me-roasting kopi Gayo sebanyak 1 ton dengan teori panas sekian, suhu sekian, warna kayak gini, tapi untuk mendapat feel aku disuruh menyangrai dengan mesin 100 gram,” kata Win

Win jadi paham kopi produksi petani lokal dihargai murah, karena kualitasnya rendah.

“Ketika ilmu itu diceritakan di kampung kan susah karena orang tua kita sudah biasa jemur di pinggir aspal. Padahal, sifat kopi endoskopik jadi akan menyerap rasa aspal. Harusnya pakai greenhouse supaya matahari bisa dikontrol,” jelas Win.

Baca juga: Jejak Bagus Priyana Rawat Sejarah Magelang

Pengetahuan kopi yang dimiliki Win, diturunkan ke anak-anaknya. (Dok: KBR/ Valda)

Win akhirnya menyerah dan memilih merantau ke Jakarta pada 2006. Dengan harapan, pengetahuan tentang kopi bisa lebih mudah tersebar.

"Mungkin mereka (petani) akan dengar kalau cerita ini datangnya dari pusat kota atau dari Monas-lah. Aku mencari teman-teman di Jakarta yang sevisi-semisi untuk edukasi kopi,” tambahnya.

Win mendatangkan 10 ton biji kopi mentah (green bean) dari kebun keluarganya ke Jakarta. Namun, sialnya, warga ibu kota justru belum mengenal kopi.

“Ternyata orang Jakarta lebih ga tau kopi, green bean itu masih dibilang kacang ijo Bangkok. Kopi masih dibilang rasanya pahit,” ujarnya sambil tertawa.

Kepalang tanggung, Win nekat bergerilya menawarkan kopinya dari warung ke warung. Ia bahkan berani mendirikan brand kopi spesial bernama Qertoev.

“Qertoev (bahasa Gayo) itu kunyah, kalau bahasa Jawa kletuk ya?” ucapnya.

Metode door-to-door ternyata belum berbuah. Win putar otak dan tercetus ide mengenal kopi ke kalangan ibu.

“Saya sasar majelis taklim, karena saya yakin yang bikin kopi itu ibunya. Ketika ibunya mengerti tentang kopi yang baik, dia pasti akan memaksakan suaminya minum kopi yang dia buat,” kata Win.

Baca juga: Masyarakat Adat Anggai di Tengah Konsesi Sawit

Di laboraturium pribadi Win terdapat belasan jenis kopi spesial lokal dari berbagai daerah. (Dok: KBR/ Valda)

Strategi pemasarannya pun disesuaikan dengan minat dan kebutuhan para ibu.

“Pernah denger ga tren green coffee buat ibu-ibu? kopi diet. Itu salah satu ide saya, minimal ibu-ibu ini tertarik dulu dengan kopinya,” ujarnya.

Dua tahun kemudian, jerih payah Win terbayar. Kopi mulai digemari warga Jakarta.

“Pemilik kafe mulai tertarik, yang biasanya pakai kopi impor, belajar ke sini, datangnya ke saya,” kata ayah tiga anak ini.

Bagi Win, perjuangan memperkenalkan kopi Gayo tak sekadar urusan bisnis. Di balik itu ada cita-cita sang kakek yang ingin ditunaikannya. Gayo harus dikenal seantero negeri.

“Ada cerita paling miris, (Gayo) kalau ga dibilang GAM, ganjanya mana? Padahal mereka juga merasa orang Indonesia, tapi kok tidak dikenal di bangsa ini. Padahal menurut sejarahnya Gayo itu adalah Indonesia terakhir di zaman kemerdekaan,” katanya.

Win memilih kopi sebagai sarana perjuangan mewujudkan asa kakeknya.

“Kakek saya bilang 'tolong dong, aku titip apa yang bisa kamu ceritakan sehingga Gayo bisa dikenal secara nasional,” ujar Win.

Penulis: Valda Kustarini

Editor: Ninik Yuniati