BERITA
Papan dengan tulisan dan logo KITA Bhinneka Tunggal Ika. Terpampang juga foto-foto kegiatan komunitas muda pegiat perdamaian dari Makassar ini. Foto: Taufiq/KBR
Pengantar:
Bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan Maret 2021 mencederai toleransi umat beragama. Yang lebih menyesakkan, dua pelaku merupakan generasi milenial. Di Kota Daeng, selain kekerasan berlatar agama, anak muda juga rentan menjadi korban dan pelaku praktik kekerasan lain. Komunitas KITA Bhinneka Tunggal Ika menolak bergeming dengan menginisiasi gerakan perdamaian. Jurnalis KBR Muthia Kusuma Wardani mencari tahu tentang kiprah mereka.
KBR, Makassar- Peristiwa bom Makassar pada 28 Maret 2021 lalu melecut anak-anak muda di komunitas KITA Bhinneka Tunggal Ika untuk bekerja lebih keras. Mereka terpacu untuk makin giat menyebarkan narasi perdamaian.
"Kita sama-sama tidak menyangka sampai kejadian itu terjadi. Saya pribadi juga merasa kaget karena isu terorisme memang kita aware ada tantangan ini. Tapi sampai kejadian, pengeboman itu kita cukup kaget. Karena kalau di Kota Makassar isu agama itu kita lihat cukup baik, toleran dan lain sebagainya," kata Direktur KITA Bhinneka Tunggal Ika, Therry Al Ghifari.
KITA Bhinneka Tunggal Ika turun ke jalan bersama puluhan lembaga masyarakat sipil di Makassar, mengecam kekerasan berlatar agama.
“Ini ada semacam PR besar ke depan, supaya aksi seperti ini tidak meluas dan tidak semakin besar ke depannya, itu yang kita pikirkan," imbuh Therry.
KITA Bhinneka Tunggal Ika bersama puluhan lembaga masyarakat sipil menggelar aksi mengecam bom Makassar pada 4 April 2021 di Monumen Mandala dan Gereja Katedral Makassar. (Foto: dokumentasi KITA Bhinneka Tunggal Ika.)
Therry menyebut kekerasan berlatar agama hanya satu dari banyak kekerasan yang terjadi di masyarakat. Sejak kecil, ia menyaksikan sendiri beragam tindak kekerasan, mulai dari ranah domestik.
“Saya juga ada pengalaman mengalami kekerasan di rumah tangga tetapi tidak langsung maksudnya ibu saya yang mengalami itu. Kemudian mereka (ibu dan ayahnya) bercerai jadi ada dampak-dampak yang saya rasakan seperti itu bahkan sejak kecil,” kisah Therry.
Kekerasan dipicu konflik SARA juga kerap terjadi di Sulawesi Selatan.
"Kerugian materi pasti ada, terbakar dan korban jiwa juga terjadi konflik antar-suku di Sulawesi Selatan itu udah banyak korbannya. Konflik antarkampus juga udah ada korban jiwanya,” imbuhnya.
Saat masih kuliah, pria 31 tahun ini juga menyaksikan tawuran antarkelompok di kampus dianggap hal biasa. Kala itu, Therry bertekad mengubahnya, tapi tak berdaya.
“Saya pernah diamanahkan menjadi koordinator pengkaderan dan lain sebagainya. Dan itu berat sekali mengubah hal itu, ibarat melawan tembok dan temboknya itu tinggi, tebal dan besar kemudian bisa memukul balik. Saat saya jadi ketua pelaksana malah konflik antarkelompok itu semakin besar. Ada empat sampai lima kelompok mahasiswa,” ujar Therry.
Direktur KITA Bhinneka Tunggal Ika, Therry Al Ghifari. (Foto:Taufiq Hidayat/KBR)
Waktu berganti, tapi kekerasan di ranah pendidikan tetap terjadi. Mahasiswi Fakultas Teknik Universitas Hasanudin, Dwi Rezki Fauziah mengisahkan ajegnya praktik kekerasan dengan dalih senioritas.
“Dilatih mentalnya istilah senior. Ada yang ditunjuk sebagai bunda atau ketua angkatan. Penyaringannya itu melalui kekerasan. Jadi siapa yang pas dipukul dia masih bertahan, ketika dimarah-marahi, dia tetap bertahan, dia yang akan dijadikan bunda," kata Dwi.
Maraknya berbagai kekerasan di Makassar mendorong Therry dan sembilan rekannya mendirikan KITA Bhinneka Tunggal Ika pada 2015 silam. Dua tahun kemudian, mereka menginisiasi program Guardian of Peace. Tujuannya mencetak anak-anak muda agen perdamaian dan antikekerasan.
“Pendidikannya ada berupa capacity building, ada materi yang diberikan melalui peace and leadership training. Mereka kemudian membuat peace mission, yaitu membuat kegiatan-kegiatan yang bisa menyebarkan perdamaian bentuknya. Ada dongeng damai, dialog damai, sekolah anak bangsa, kampanye internet sehat dan Poskes. Jadi di Guardian of Peace ini, mereka setelah mendapatkan pendidikan, kemudian berembuk bersama kira-kira apa yang bisa kita berikan?" kata pengurus KITA Bhinneka Tunggal Ika, Fransiska Sabu Wolor.
Pengurus KITA Bhinneka Tunggal Ika, Fransiska Sabu Wolor. (Foto:Taufiq Hidayat/KBR)
Program Guardian of Peace menarik minat Dwi Rezki Fauziah untuk bergabung pada 2019. Beragam pengalaman buruk berhadapan dengan kekerasan menggugah Dwi untuk bikin perubahan.
"Waktu saya kecil juga pernah di-bully, saya juga belum sadar itu namanya bully. Saya sadar ketika kuliah, saya masuk fakultas teknik yang keras dan saya merasa bahwa iklim itu tidak sesuai dengan saya, saya tidak nyaman. Jadi saya cari kegiatan dan ikut Guardian of Peace," kisahnya.
Usai mengikuti rangkaian pelatihan, mahasiswi semester enam Universitas Hasanuddin ini makin percaya diri untuk ambil peran.
“Itu judulnya adalah spirit of non-violence. Jadi saya ingat sekali kita dikasih pertanyaan bisakah kita melakukan perubahan sosial tanpa kekerasan. Saya itu sebenarnya juga bertanya-tanya bisakah bisakah memang tanpa kekerasan terjadi perubahan sosial dan ternyata jawabannya bisa tadi contohkanlah bahwa Mahatma Gandhi dulu melakukan suatu perubahan yang sangat berdampak dan aksinya itu tanpa kekerasan,” ujar Dwi.
Dwi Rezki Fauziah, anggota Guardian of Peace dan Mahasiswa Universitas Hasanuddin. (Foto: Taufiq Hidayat/KBR)
Tak cuma mahasiswa, KITA Bhinneka Tunggal Ika juga merangkul masyarakat umum. Salah satunya Yuliatmi Pratiwi alias Wiwik, karyawan sebuah rumah sakit di Makassar. Perempuan 30 tahun ini bergabung dengan Guardian of Peace sejak 2020.
“Saya tertarik karena mau tahu soal damai itu apa sih. Bagaimana menciptakan perdamaian. Karena saya sadar kalau kitanya saja tidak damai itu bisa menyebabkan konflik terhadap diri sendiri maupun orang lain,” tutur Wiwik.
Dengan mengikuti Guardian of Peace, Wiwik ingin berkontribusi memutus rantai kekerasan. Ia tak mau trauma atas perundungan yang dialaminya waktu kecil terjadi lagi di generasi mendatang.
"Kenapa saya consern ke pendidikan perdamaian? Karena waktu saya SD saya sering mendapat perundungan dari teman maupun guru. Saya pindahan dari Jakarta ke Makassar dan ngomongnya masih Jakarta banget, teman-teman waktu itu kayak menganggap saya sok-sokan. Guru saya juga membandingkan antara satu murid dan murid lain. Mreka membentak, memukul muridnya kalau salah," ungkap Wiwik.
Yuliatmi Pratiwi, karyawan swasta di Makassar yang bergabung dengan Guardian of Peace. (Foto: Taufiq Hidayat/KBR)
Wiwik aktif di beragam kegiatan KITA Bhinneka Tunggal Ika. Saban pekan, sebelum pandemi, ia ikut ke sekolah-sekolah untuk menggelar dialog damai. Mereka ingin nilai toleransi, keberagaman dan antikekerasan diperkenalkan sejak dini.
“Dialog damai yang kita lakukan itu peminatnya bisa ada lebih dari 40 orang atau 90 orang dialog damai dan setiap topik yang kita bawa kan mereka selalu tertarik begitu. Kita juga ada yang dongeng damai, pendidikan perdamaian lalu kita juga ada waktu bulan puasa untuk masyarakat yang ada di Kampung Amanah,” ujar dia.
Kampung Amanah di Makassar menjadi sasaran kegiatan karena termasuk wilayah marjinal yang rentan kekerasan. Wiwik juga sempat memberikan dampingan psikologi bagi korban banjir bandang di Masamba beberapa waktu lalu. Setahun lebih menjadi agen perdamaian, Wiwik belajar satu hal. Damai itu harus berawal dari diri sendiri.
“Hal-hal yang saya dapatkan kita Bhinneka ini dan di program ini saya terapkan di lingkungan sekitar saya di lingkungan kantor saya di lingkungan komunitas saya,” kata Wiwik.
Acara meet & greet anggota Guardian of Peace di masa pandemi. (Foto: dokumentasi KITA Bhinneka Tunggal Ika)
Wiwik dan Dwi adalah bagian dari total 50 lebih agen perdamaian yang berhasil direkrut lewat Guardian of Peace. Pendiri sekaligus Direktur Kita Bhinneka Tunggal Ika, Therry Al Ghifari ingin langkah-langkah kecil ini bisa berdampak besar untuk memutus rantai kekerasan.
“Kita butuh orang yang punya nilai perdamaian penuh di dalam dirinya dan dia survive dengan pertentangan yang dialami. Kemudian berusaha menyebarkan bibit-bibitnya ke orang lain. Tujuan damai itu harus dilakukan dengan cara-cara yang damai. Tidak ada perdamaian yang kita cita-citakan, tapi kita wujudkan dengan cara-cara kekerasan atau cara yang menjurus kepada kekerasan,” pungkas Therry.
Penulis: Muthia Kusuma Wardani
Editor: Ninik Yuniati