NUSANTARA
Lembaga Pendidikan Khilafatul Muslimin SD Hingga Kuliah Selesai 8 Tahun?
"Sesungguhnya ini bukan yang namanya sekolah, bukan yang namanya satuan pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam UU Sisdiknas."

KBR, Jakarta- Lembaga pendidikan yang dikelola Ormas Khilafatul Muslimin dinilai melenceng dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, serta Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Menurut Auditor Utama Itjen Kemendikbud-Ristek, Chandra Irawan, lembaga pendidikan itu tidak layak disebut sekolah atau satuan pendidikan.
Chandra mencontohkan, lamanya masa pendidikan di lembaga pendidikan milik Ormas Khilafatul Muslimin, sangat tidak sesuai aturan formal yang berlaku.
"Kami pun setelah melihat kondisi sekolah, kami juga menyatakan bahwa sesungguhnya ini bukan yang namanya sekolah, bukan yang namanya satuan pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam UU Sisdiknas. Dimana informasinya, masa pendidikan SD selama 2 tahun, masa pendidikan SMP 2 tahun, dan SMA masa pendidikannya 2 tahun, dan setara Pendidikan Tinggi masa pendidikannya selama 2 tahun," ujar Auditor Utama Itjen Kemendikbud-Ristek, Chandra Irawan, Kamis (16/6/2022).
Auditor Utama Itjen Kemendikbud-Ristek, Chandra Irawan juga mengungkapkan, lembaga pendidikan Ormas Khilafatul Muslimin juga mewajibkan setiap calon siswa dan orang tua siswa melaksanakan baiat, ditujukan kepada "Khalifah" kewilayahan. Selain itu, calon orang tua siswa juga wajib membayar zakat, infak dan sedekah sebesar 10 hingga 30 persen.
Baca juga:
- Cegah Khilafah, Kemenag Rombak 155 Buku Pelajaran Agama
- Temuan Khilafatul Muslimin di Solo, Ini Alasan Gibran Intensifkan Hansip
Sementara itu, Polda Metro Jaya menduga Ormas Khilafatul Muslimin memiliki 14 ribu anggota se-Indonesia. Kapolda Metro Jaya Fadil Imran menuding, Ormas Khilafatul Muslimin membangun negara di dalam negara.
Editor: Rony Sitanggang
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!