NASIONAL

YLBHI: Pemerintah Lambat Tangani Gangguan Ginjal Akut Anak

""Mendesak kepada Pemerintah untuk segera mengambil tindakan perlindungan yang komprehensif""

Agus Lukman

ginjal akut
Warga menjaga anaknya yang terkena gangguan ginjal akut di RSUP Dr M Djamil, Padang, Sumatera Barat, Kamis (20/10/2022). (Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra)

KBR, Jakarta- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai pemerintah lamban menangani kasus gangguan ginjal akut misterius (acute kidney injury/AKI) yang banyak menyerang anak-anak.

Hingga Senin (24/10/2022), kasus gangguan ginjal akut misterius menimpa 245 orang, sebanyak 141 orang di antaranya meninggal.

Melalui keterangan pers tertulis, YLBHI meminta pemerintah melaksanakan tugas konstitusionalnya dengan memaksimalkan sumber daya secara maksimum untuk menjamin keselamatan warga negara atas peristiwa ini.

"Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mendesak kepada Pemerintah untuk segera mengambil tindakan perlindungan yang komprehensif berupa pencegahan efektif, rehabilitasi korban yang terindikasi mengalami dampak, memprioritaskan seluruh layanan dan fasilitas kesehatan untuk kasus ini serta melibatkan peran serta orang tua, keluarga dan masyarakat," tulis YLBHI dalam siaran pers yang diterima KBR, Selasa (25/10/2022).

YLBHI mengingatkan pemerintah agar mengambil pelajaran dari pandemik Covid-19, dimana respon yang lamban dari pemerintah menyebabkan banyaknya jatuh korban jiwa. YLBHI khawatir, jika pemerintah tidak sungguh-sungguh menangani kasus gangguan ginjal akut, tidak menutup kemungkinan peristiwa kelam Pandemi Covid-19 kembali terulang.

"Berdasarkan hasil penelusuran media yang kami lakukan, kasus gagal ginjal akut ini mulai muncul sejak bulan Juli 2022 namun sayangnya Pemerintah baru merespon di akhir Oktober 2022. YLBHI menilai Pemerintah lambat merespon kasus tersebut sehingga situasi ini membahayakan keberlangsungan hidup bagi anak," tulis YLBHI.

Baca juga:

YLBHI menyatakan anak masuk kategori kelompok rentan, sehingga penanganan kasus ginjal akut harus memperhatikan kepentingan terbaik anak.

Karena itu, YLBHI juga mengingatkan pemerintah untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian agar penanganannya tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya terhadap anak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 12 Jo. Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 Jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang PERPPU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 2002 (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak), dinyatakan bahwa: “Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Dan setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang.”

Melanggar hak akses obat-obatan

YLBHI juga mengkritik sikap Kementerian Kesehatan yang mengeluarkan surat edaran yang isinya agar seluruh layanan fasilitas kesehatan tidak meresepkan obat dalam bentuk cair/sirup tanpa menyiapkan alternatif obat.

Menurut YLBHI, surat edaran itu berpotensi melanggar hak-hak kesehatan bagi anak berupa hilangnya akses memperoleh obat-obatan.

"Dalam situasi ini, Pemerintah seharusnya mengambil langkah perlindungan komprehensif bagi anak, yang meliputi pencegahan yang efektif dengan tidak sebatas larangan namun juga menyiapkan alternatif obat, melakukan rehabilitasi terhadap korban anak yang terindikasi mengalami dampak, memposisikan kasus ini sebagai prioritas dengan memaksimalkan seluruh layanan dan fasilitas kesehatan," tulis YLBHI.

YLBHI merujuk ketentuan Pasal 44 Ayat (1) UU Perlindungan Anak yang menyatakan: "Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan." Hal yang sama juga diatur dalam ketentuan Pasal 15, 16 dan 17 UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

YLBHI juga meminta pemerintah memaksimalkan peran serta masyarakat dalam penanganan kasus ini. Menurut YLBHI, tanggung jawab terhadap perlindungan anak bukan hanya di tangan pemerintah melainkan juga ada pada orang tua, keluarga dan masyarakat.

Baca juga:


YLBHI juga mendesak pemerintah melakukan penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan produsen dan penyedia obat cair/sirup yang diduga mengandung Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).

Menurut YLBHI, dalam kasus ini terlihat lemahnya fungsi pengawasan dari Pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap industri farmasi.

"Jika ditemukan adanya pelanggaran hukum, maka Pemerintah harus mengambil tindakan tegas berupa tindakan administratif pencabutan izin sementara atau izin tetap dan diteruskan ke tahap pro justitia," tulis YLBHI.

YLBHI merujuk ketentuan Pasal 188 Ayat (3) UU Kesehatan dan Pasal 196 UU Kesehatan, yang menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dapat dipidana dengan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).”

YLBHI juga menyebut para keluarga korban dapat menuntut ganti rugi materiil maupun non-materiil terhadap perusahaan produsen dan penyedia obat cair/sirup serta kepada pemerintah karena kelalaiannya melakukan pengawasan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa warga negara.

Editor: Rony Sitanggang

  • gangguan ginjal akut
  • ginjal akut
  • YLBHI
  • KLB
  • faskes

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!