BERITA

Stop Ekspor Bijih Nikel, Jokowi: Neraca Perdagangan Surplus

"Dan ekspor kita kenapa naiknya seperti itu, salah satunya karena kita hentikan ekspor raw material, ekspor bahan mentah dari minerba kita, yaitu nikel."

AUTHOR / Ranu Arasyki

Ilustrasi: Smelter nikel  yang di Kawasan VDNI di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, Selas
Ilustrasi: Smelter nikel yang di Kawasan VDNI di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/12/21). (Foto: ANTARA/Jojon)

KBR, Jakarta— Presiden Joko Widodo mengklaim penyetopan ekspor bahan mentah bijih nikel menjadi salah satu penopang kenaikan ekspor dalam negeri yang mencapai 49,7 persen atau US$22,84 miliar atau setara Rp325,80 triliun (kurs Rp14.269) year on year/yoy per November 2021.

"Pemulihan ekonomi kita cukup kuat, neraca dagang kita surplus US$34,4 miliar. Dalam 19 bulan surplus terus. Belum pernah kita mengalami seperti ini. Ekspor kita juga naik 49,7 yoy, impor juga naik, bahan baku bahan penolong 52,6 persen. Dan ekspor kita kenapa naiknya seperti itu, salah satunya karena kita hentikan ekspor raw material, ekspor bahan mentah dari minerba kita, yaitu nikel. Yang saya lihat biasanya hanya US$1-2 miliar, kemarin akhir tahun sudah hampir mencapai US$20,8 milar," katanya pada acara Pembukaan Perdagangan BEI Tahun 2022, Senin (3/01/2022).

Presiden mengatakan, hilirisasi menjadi kunci dari kenaikan ekspor Indonesia. Menurut dia, rencana pemerintah untuk menyetop keran ekspor raw material tersebut tidak akan berhenti sampai di situ. Dia kembali menegaskan, Indonesia akan melanjutkan untuk menghentikan ekspor bahan mentah lain seperti bauksit, tembaga, timah dan sebagainya secara bertahap. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya membangun industri hilirisasi di dalam negeri.

Baca Juga:

Saat ini, lanjutnya, indikator konsumsi dan produksi dalam negeri tampak menguat. Per November 2021, indeks keyakinan konsumen mencapai 118,5 atau naik dibandingkan Maret 2021 sebesar 113,8 . Demikian dengan purchasing manager index manufacture juga naik menjadi 53,9, dibandingkan sebelum pandemi sebesar 51, disusul spending index naik menjadi 120,5. Sementara, konsumsi listrik bertumbuh sebesar 14,5 untuk bisnis, dan 5,7 untuk industri.

"Angka seperti ini harus kita lihat. Inilah yang harus kita tingkatkan di tahun 2022 meskipun kita tahu masih akan banyak tantangan yang kita hadapi, baik omicron, kenaikan inflasi, tapering off baik kehilangan kontainer di mana-mana, baik negara lain yang mengalami kelangkaan energi yang ini akan mengganggu ekspor kita. Saya kira tantangan itulah yang akan kita hadapi. Saya meyakini dengan semangat kerja keras kita bersama, tantangan itu akan bisa kita lalui dengan baik," ujarnya.

Editor: Rony Sitanggang

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!