NASIONAL

Pengamat Energi: Pengurangan Kuota Jadi Penyebab Langkanya Solar Bersubsidi

""Saat ini disparitas harga antara solar subsidi dengan solar nonsubsidi ini kan sangat jauh ya. Dengan demikian maka banyak truk atau bahkan mobil pribadi yang mengantre atau memakai solar subsidi""

Muthia Kusuma

Pengamat Energi: Pengurangan Kuota Jadi Penyebab Langkanya Solar Bersubsidi
Foto udara truk mengantre mengisi BBM solar bersubsidi dan menyebabkan kemacetan di sebuah SPBU di Sumatera Barat, Rabu (16/3/22). (Foto: Antara/Iggoy el Fitra)

KBR, Jakarta - Pengamat Energi menilai kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar disebabkan oleh kebijakan pengurangan kuota subsidi untuk bahan bakar tersebut.

"Tahun ini pemerintah mengurangi beban subsidi negara dari 15,8 juta kilo liter menjadi 15,1 juta kilo liter," kata Direktur Eksekutif Pemantau Energi, Mamit Setiawan kepada KBR, Senin, (28/3/2022).

Imbas dari pengurangan subsidi itu, antrean sopir truk pengangkut logistik mengular di SPBU di sejumlah daerah di Sumatera, Jawa dan wilayah lainnya di Indonesia, dua pekan terakhir.

"Selain itu juga kita pahami bahwa saat ini disparitas harga antara solar subsidi dengan solar nonsubsidi ini kan sangat jauh ya. Solar subsidi sekarang itu di angka Rp5.500/liter. Sedangkan kalau kita lihat yang terdekat, solar nonsubsidi adalah Dexlite itu harganya sudah menyentuh di level Rp12 ribu/liter. Dengan demikian maka banyak truk atau bahkan mobil pribadi yang mengantre atau memakai solar subsidi tersebut," jelas Mamit.

Ia menegaskan, dugaan pelangsiran solar subsidi oleh masyarakat yang disebut aparat penegak hukum bukan menjadi penyebab utama kelangkaan solar. Mamit beralasan, jumlah kasus pelangsiran solar subsidi tidak banyak dan tidak berdampak signifikan dibandingkan pengurangan kuota subsidi dan penyelewengan bantuan akibat disparitas harga.

Ia mendorong aparat penegak hukum memperketat pengawasan penyaluran solar subsidi.

"Secara efektivitas memang belum efektif (pengawasan penyaluran solar subsidi-red). Seharusnya semua SPBU terdigitalisasi, saat ini belum semua SPBU terdigitalidasi karena pencatatan masih manual. Jadi real time datanya tidak terkoneksi antara SPBU satu dan lainnya yang jual solar bersubsidi. Nah, tapi saya kira ini jadi salah satu upaya karena kan sudah dibatasi per orang 30 liter kalau tidak salah jumlahnya per hari. Karena truk itu kan tangkinya besar ya bisa ratusan liter per mobil," imbuhnya.

Berita lainnya: Jokowi-Presiden IsDB Bahas Tiga Isu Pembangunan Prioritas

Mamit melanjutkan, jika pengawasan penyaluran solar subsidi itu masih lemah, dikhawatirkan akan berdampak pada terganggunya distribusi logistik dan ongkos distribusi barang yang membengkak.

Akibatnya, kata dia, dapat memicu kenaikan harga sejumlah komoditas di tingkat konsumen dan memperlampat distribusi. Misalnya distribusi sembako, daging, hingga komoditas pertanian lainnya.

"Saya kira solusi jangka panjang, ke depan Pemerintah Pusat kembali berhitung mengenai jumlah alokasi kuota untuk subsidi ini. Saat ini kan memang masyarakat kita sudah mulai tumbuh perekonomiannya. Memang di 2020 kita mengalami penurunan konsumsi, 2021 juga. Seharusnya 2022 ini mengalami kenaikan jumlah kuota subsidi," jelas Mamit.

Ia juga mendorong agar pemerintah membentuk aturan yang tegas dan jelas terkait sasaran subsidi solar itu. Selain itu, aAturan terkait sanksi yang jelas terhadap pelaku penyelewengan solar bersubsidi ini jelas diperlukan.

"Kemudian, pemerintah juga perlu memberlakukan digitalisasi terhadap pencatatan stok terkini solar di semua SPBU. Hal itu guna menghindari kecurangan pelangsiran solar subsidi dan pembatasan solar yang dilakukan tak bersifat manual karena terkoneksi antar-SPBU," pungkas Mamit Setiawan.

Editor: Kurniati Syahdan

  • solar bersubsidi
  • kelangkaan solar
  • pengurangan kuota solar
  • alokasi kuota solar bersubsidi
  • pengamat energi

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!