NASIONAL

Kinerja Bulog, CBP, dan Impor Beras

Pemerintah memutuskan melakukan impor beras 2 juta ton tahun ini.

AUTHOR / Muthia Kusuma, Heru Haetami, Siti Sadida Hafsyah

Kinerja Bulog, CBP, dan Impor Beras
Ilustrasi: Pekerja mengangkut karung berisi beras di Gudang Perum Bulog, Medan, Sumatera Utara, Rabu (9/11/2022). (Foto: ANTARA/Fransisco Carolio)

KBR, Jakarta- Kinerja Badan Urusan Logistik (Bulog) dinilai lemah dalam menjaga pasokan beras dalam negeri. Akibatnya, Cadangan Beras Pemerintah (CBP) rendah sejak tahun lalu.

Mengutip Bulog.co.id, CBP di Bulog hingga 21 Desember 2022, sebanyak 399.160 ton. Padahal, target CBP pada akhir 2022 sebanyak 1,2 juta ton.

Penilaian soal lemahnya kinerja Bulog disampaikan Serikat Petani Indonesia (SPI). Karena itu, Ketua Umum SPI, Henry Saragih mendorong pemerintah membenahi kinerja Bulog.

Sebab, dampak minimnya CBP tahun lalu masih terjadi hingga saat ini. Antara lain, pemerintah tak bisa mengintervensi ketika terjadi lonjakan harga beras.

Namun, ia tak sepakat dengan langkah impor yang akan dilakukan pemerintah untuk memenuhi CBP. Henry meminta pemerintah mengkaji ulang rencana impor 2 juta ton beras tahun ini.

"Dan yang kedua menurut kita pemerintah jangan tergesa-gesa untuk mengimpor beras ini, ya. Pertama karena harus dilihat panen kita di tahun ini, ya. Kalaupun ada diprediksi turun, turun berapa? karena hasil dari pantauan kita, ya, memang benar, ya, benar ada penurunan produksi, tetapi seberapa besar produksi ini menurun?" ucap Henry kepada KBR, Senin, (27/03/2023).

Penetapan HPP Lamban

Ketua Umum SPI, Henry Saragih menambahkan, tidak stabilnya harga gabah dan beras merupakan imbas dari lambannya pemerintah menentukan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Menurutnya, seharusnya HPP sudah diputuskan sedari tahun lalu, bukan saat masa panen raya seperti sekarang.

Ia berharap penentuan nilai HPP sesuai usulan serikat petani, yakni Rp5.600, sebab ongkos produksi mencapai Rp5.050 per kilogram.

Namun, pada 15 Maret, pemerintah menetapkan harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani Rp5.000 per kilogram, dan Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat penggilingan Rp5.100.

Kemudian, untuk Gabah Kering Giling (GKG) di penggilingan Rp6.200 per kilogram, dan Gabah Kering Giling (GKG) di gudang Perum Bulog Rp6.300.

Utamakan Produksi Dalam Negeri

Rencana importasi beras di tengah masa panen raya juga ditentang sebagian kalangan anggota dewan. Salah satunya Anggota Komisi Pertanian DPR Slamet. Ia khawatir, impor beras bakal membuat Bulog tak maksimal menyerap gabah petani.

Slamet menduga, rendahnya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah, menjadi salah satu skenario untuk melakukan impor.

"Perintah Pak Jokowi untuk menyerap secara optimal itu kan belum terpenuhi. Baru 50 ribu dibeli oleh Bulog. Sehingga justru saya bertanya-tanya. Dengan munculnya HPP yang ditentukan oleh pemerintah, jangan-jangan memang ini untuk menjadi pintu masuk agar Bulog tidak bisa menyerap untuk memenuhi CBP (Cadangan Beras Pemerintah), sehingga alasan untuk impor itu ada. Karena untuk memenuhi kebutuhan beras cadangan dari pemerintah," kata Slamet pada KBR, Senin, (27/03/23).

Anggota Komisi Pertanian DPR Slamet mendorong Bulog mengutamakan serapan produksi dalam negeri. Dia yakin, stok beras nasional cukup sebagaimana diungkapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Dia juga mendesak Bapanas dan Kementerian Pertanian memperbaiki pendataan stok beras.

"Jadi ini tidak menjalankan perintah presiden secara baik. Karena (arahannya) penyerapan optimal, sementara yang diserap baru 50 ribu ton, sudah impor. Ini kan tidak ada korelasi dengan perintah presiden," ujarnya.

Impor 2 Juta Ton Beras

Sebelumnya, pemerintah memutuskan melakukan impor beras 2 juta ton tahun ini. Keputusan itu merupakan hasil rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada Jumat pekan lalu.

Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah menugaskan Perum Bulog melakukan importasi. Untuk tahap pertama, Bulog diminta mempercepat importasi sebanyak 500 ribu ton di tengah masa panen raya.

Tambahan pasokan beras itu dapat digunakan untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan, bantuan sosial pangan, dan kebutuhan lain.

Keputusan Pahit

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai keputusan impor beras merupakan keputusan pahit. Menurutnya jarang terjadi izin impor dikeluarkan saat panen raya. Sebab, saat panen raya biasanya pasokan gabah/beras melimpah dan harga turun.

Namun kata dia, keputusan impor merupakan keputusan dilematis. Pasalnya kini harga gabah di tingkat petani justru sedang tinggi dan Bulog tak mampu menyerap produksi yang ada.

"Ini tentu menguntungkan petani karena harganya tinggi, tapi di sisi lain karena harga tinggi Bulog tidak bisa melakukan penyerapan. Walaupun badan pangan sudah melakukan penyesuaian HPP harga pembelian pemerintah, baik gabah maupun beras. Kalau kita cek sampai hari ini HPP gabah maupun beras yang di pasar itu masih lebih tinggi dibandingkan HPP yang sudah dikeluarkan oleh badan pangan nasional 15 Maret yang lalu," kata Khudori kepada KBR, Senin, (27/3/2023).

Target Sulit Tercapai

Persoalan lain menurut Khudori, adalah target Bapanas agar Bulog menyerap beras petani domestik sebanyak 2,4 juta ton. 1,2 juta di antaranya akan menjadi stok akhir tahun. Dari target itu, 70 persen di antaranya diharapkan bisa diserap kala panen raya sampai Mei nanti.

Namun, melihat kondisi di lapangan, target itu hampir bisa dipastikan sulit dipenuhi.

"Termasuk target menyerap 70 persen dari 2,4 juta ton beras saat panen raya. Sementara peluang terbaik bagi pengadaan Bulog yang di panen raya. Kalau penyerapan saat panen raya terlewat atau tidak tercapai, target hampir dipastikan tak tercapai," katanya.

CBP Hanya 280 Ribu Ton

Khudori mengungkapkan, pekan lalu CBP yang ada di gudang Bulog hanya 280 ribu ton. Jumlah ini amat kecil. Sementara mulai Maret hingga Mei nanti Bulog harus menyalurkan bantuan sosial (bansos) beras untuk 21,35 juta keluarga kurang mampu. Masing-masing keluarga akan mendapatkan beras 10 kg. Artinya, perlu 630 ribu ton.

Untuk itu dia mendorong perlu ada upaya-upaya serius untuk menggenjot produksi dan produktivitas beras.

"Produksi dari 2018 ke 2022 terus menurun. Produktivitas memang naik, tapi minor. Tahun ini, tantangan produksi diperkirakan jauh lebih sulit ketimbang tahun lalu yang masih mengalami La-Nino. Tahun ini, mulai April akan terjadi El-Nino, yang jika merujuk pengalaman biasanya produksi turun," ujar Khudori.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!