BERITA

LSM Desak Pemerintah Ubah Cara Pandang Pembangunan di Papua

""Saat ini negara mengubah cara pandang persepsinya, dengan berkaca mata membangun suatu pendakatan yang lebih inklusif, menjadikan masyarakat Papua sebagai subyek, bukan hanya sebatas obyek""

Winna Wijaya, Dian Kurniati

LSM Desak Pemerintah Ubah Cara Pandang Pembangunan di Papua
Petugas gabungan TNI dan Polri mendata keluarga korban penembakan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Bandara Mozes Kilangin Timika, Mimika, Papua. (Foto: ANTARA/Jeremias Rahadat)

KBR, Jakarta- LSM Imparsial mendesak pemerintah segera merealisasikan dialog yang inklusif dengan masyarakat Papua, agar perdamaian di sana terwujud.

Direktur Imparsial, Al Araf mengingatkan agar semua tahapan dialog benar-benar melibatkan masyarakat Papua, agar solusinya nanti tak hanya memuaskan pemerintah pusat.

Al Araf menilai, berbagai kebijakan Presiden Joko Widodo elama ini juga tak cukup untuk memuaskan masyarakat Papua, lantaran masalahnya lebih kompleks dari sekadar isu ekonomi.

"Di tengah luka konflik seperti itu, maka seharusnya saat ini negara mengubah cara pandang persepsinya, dengan berkaca mata membangun suatu pendakatan yang lebih inklusif, menjadikan masyarakat Papua sebagai subyek, bukan hanya sebatas obyek. Yang terjadi di masa reformasi, dan sejak kemarin-kemarin, dia hanya menjadi obyek. Kalau pendekatan inklusif, maka ruang dialog menjadi penting untuk dilakukan," kata Al Araf di kantornya, Kamis (6/12/2018).

Al Araf menilai, selama ini pola pendekatan yang digunakan pemerintah lebih dominan pada pembangunan ekonomi. Namun, pola seperti itu tak cukup efektif menyelesaikan konflik dan kekerasan di Papua.

LSM Imparsial menyoroti masalah di Papua menyangkut problem historis bergabungnya wilayah tersebut dengan Indonesia, isu marginalisasi masyarakat di sana, dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang tak pernah tuntas.

Adapun model penyelesaiannya, kata Al Araf, bisa menggunakan pihak ketiga sebagai mediator seperti saat dialog penyelesaian konflik di Aceh atau cukup kedua pihak, seperti saat konflik Ambon.

Model penyelesaian konflik Papua juga mendapat sorotan anggota Forum Akademisi untuk Papua, Antie Solaiman. Antie mengatakan, selama ini pola pendekatan negara untuk menangani konflik di sana terlalu memaksakan keinginan pemerintah pusat, bukan kesepakatan yang dihasilkan melalui dialog antara pemerintah dan masyarakat. 

Antie mengatakan pemerintah seharusnya mendengarkan aspirasi kelompok masyarakat Papua yang tak pernah puas terhadap kebijakan pemerintah pusat.

Dengan demikian, kata Antie, masyarakat Papua bisa ditempatkan sebagai subyek, bukan sekadar obyek seperti yang terjadi sejak puluhan tahun lalu. 

Baca: Jokowi Sebut Pembangunan Trans Papua Jalan Terus, OPM Klaim Bertanggungjawab

Sementara itu, Kantor Staf Presiden (KSP) mengklaim telah melibatkan masyarakat Papua dalam pembangunan infrastruktur di provinsi itu.

Menurut Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, meski pada akhirnya itu diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah provinsi, secara formal sudah terkonsep penyertaan masyarakat Papua. Itu terlihat dari intensitas koordinasi yang melibatkan kepala adat, wali gereja, dan anggota dewan di masing-masing daerah.

“Sebenarnya program pembangunan itu melibatkan rakyat Papua. Ada mekanisme formal yang suda terstruktur yang selama ini juga sudah dilakukan. Dan bahwa ada sebagian rakyat Papua yang merasa belum dilibatkan salah satunya memang menjadi tanggungjawab pemerintah daerah,” terang Jaleswari kepada KBR, Kamis (6/12/2018).

Sesuai Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Jaleswari menegaskan, pembangunan infrastruktur tetap dilanjutkan meskipun terjadi insiden penembakan di Nduga.

Dia bersikukuh, konsep dasar pembangunan pemerintah di Papua telah menggunakan pendekatan kebudayaan dan kearifan lokal.

“Saya rasa ketika Inpres percepatan pembangunan Papua Barat dilangsungkan, itu ada sekitar 20-an kementerian dan lembaga yang terlibat. Salah satu institusi itu ada pemerintah daerah. Tentu saja mekanisme koordinasi dan implementasi itu harus dibicarakan di daerah karena di daerah lah yang sepaham kondisi itu,” ujarnya.

Jaleswari menegaskan, pembangunan yang meliputi sumber daya manusia dan infrastruktur di Papua harusnya sudah terjadi sejak 20-30 tahun yang lalu.

Saat ini merupakan upaya mengejar ketertinggalan agar masyarakat Papua mendapatkan kesejahteraan dan keadilan yang sama dengan daerah lain, baik itu berupa listrik, akses jalan, jembatan, sehingga nantinya memudahkan perekonomian dan pendidikan menjalankan rodanya di Papua.

Buntut ketimpangan pembangunan di Papua, baru-baru ini puluhan pekerja proyek pembangunan jembatan Transpapua ruas Kali Yigi dan Kali Aurak di Kabupaten Nduga, tewas ditembak Kelompok Bersenjata. 

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengklaim bertanggung jawab atas penembakan pekerja di Kabupaten Nduga Papua.

Juru Bicara TPNPB, Sebby Sambom mengatakan, penyerangan yang dilakukan TPNPB, merupakan bentuk penolakan seluruh pembangunan yang ada di Papua serta tuntutan untuk merdeka.


Baca juga: Penembakan Pekerja Trans Papua, Ini Pengakuan OPM


Sebby mengatakan, anggota TPNPB-OPM yang terlibat dalam penembakan di Nduga sebanyak 50 orang.

TPNPB-OPM, lanjutnya, akan terus menuntut hak kemendekaan bangsa Papua dari Indonesia.

Selama itu tidak dipenuhi, Sebby meyakinkan bahwa penyerangan akan terus terjadi.

Editor: Kurniati 

  • penembakan di Papua
  • Transpapua
  • Imparsial
  • Pemerintah Pusat

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!