BERITA

Menpora Tersangka, KPK: Tidak ada Motif Politis

""Kalau kita menetapkan status tersangka seseorang itu, ada kewajiban dari KPK untuk menyampaikan surat kepada beliau. Dan beliau sudah menerimanya beberapa minggu yang lalu,""

Astri Yuana Sari

Menpora Tersangka, KPK: Tidak ada Motif Politis
Menpora Imam Nahrawi (tengah) didampingi Jajaran Kemenpora memberikan keterangan pers terkait pengunduran diri di Kantor Kemenpora, Jakarta, Kamis (19/9/2019). (Foto: Antara)

KBR, Jakarta-  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan penetapan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka, sudah disampaikan kepada yang bersangkutan sejak beberapa pekan sebelum diumumkan oleh lembaga antirasuah itu. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif Laode   menyebut penyidik sudah melakukan pemanggilan terhadap Imam Nahrawi untuk proses pemeriksaan.

"Saya kurang tahu, tetapi saya yakin penyidik sudah memanggilnya lagi, karena beliau sudah dipanggil beberapa kali ya, tidak datang. Saya juga ingin mengklarifikasi dari pernyataan Menpora, bahwa dia baru mengetahui kemarin, saya pikir itu salah, karena kita sudah kirimkan, kan kalau kita menetapkan status tersangka seseorang itu, ada kewajiban dari KPK untuk menyampaikan surat kepada beliau. Dan beliau sudah menerimanya beberapa minggu yang lalu," imbuhnya.

Laode juga menepis tudingan adanya muatan politis dalam penetapan Nahrawi sebagai tersangka. Ia memastikan, tidak ada motif politik dalam penetapan tersangka terhadap Menpora Imam Nahrawi.


"Itu tidak ada motif politik sama sekali. Kalau mau motif politik, mungkin diumumkan mungkin sejak masih ribut-ribut kemarin, nggak ada," ujarnya.



Rp26 Miliar


KPK menetapkan Imam Nahrawi sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait dana hibah KONI, pada Rabu (18/9/2019) sore.


Imam melalui asisten pribadinya disangka menerima uang Rp26,5 miliar, yang menjadi komitmen atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI pada Kemenpora untuk tahun anggaran 2018.


Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan selain Imam Nahrawi, asisten pribadi Imam yaitu Miftahul Ulum juga jadi tersangka.


"Menerima hadiah atau janji terkait dengan penyaluran pembiayaan dengan skema bantuan pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) tahun anggaran 2018 dan dugaan penerimaan lainnya. Dalam penyidikan tersebut ditetapkan dua orang sebagai tersangka yaitu IMR (Imam Nahrawi) Menteri Pemuda dan Olahraga 2014-2019, dan MIU (Miftahul Ulum) asisten pribadi Menpora," ujar Alex di gedung KPK Jakarta, Rabu (18/9/2019).


Dalam pengembangan kasus ini, Wakil ketua KPK Alexander Marwata menyebut, Menpora Imam Nahrawi melalui Miftahul Ulum, diduga menerima atau meminta uang sebesar total Rp26,5 miliar.


Uang tersebut diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI ke Kemenpora pada tahun anggaran 2018, dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan Imam Nahrawi sebagai Menpora.


Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Imam Nahrawi dan pihak lain yang terkait.


Asisten pribadi Menpora Miftahul Ulum sudah lebih dulu ditahan KPK pada 11 September 2019. Ulum ditahan 20 hari untuk proses penyidikan.


Kasus ini merupakan pengembangan operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 18 Desember 2108.


Dalam perkara itu, KPK juga menetapkan lima orang sebagai tersangka yaitu Ending Fuad Hamidy, Johnny E Awuy, Mulyana, Adhi Purnomo, dan Eko Triyanto.


Ending dijerat dalam jabatannya sebagai Sekjen KONI, sedangkan Johnny sebagai Bendahara Umum KONI. Baik Ending maupun Johnny telah divonis bersalah dalam pengadilan. Sedangkan 3 orang lainnya yaitu Mulyana, Adhi Purnomo, dan Eko Triyanto masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.


Editor: Rony Sitanggang

 

  • Presiden Jokowi
  • korupsi dana hibah
  • Kabinet Indonesia Kerja
  • menteri korupsi
  • KPK
  • Imam Nahrawi
  • Jokowi
  • hibah KONI

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!