BERITA

Mami Yuli: Dengan Pendidikan, Waria Tak Lagi Dipandang Sebelah Mata

"Mami Yuli, seorang transgender perempuan coba meruntuhkan stigma yang selama ini melekat ke kelompok mereka. Bagaimana caranya?"

Yogi Ernes

Mami Yuli: Dengan Pendidikan, Waria Tak Lagi Dipandang Sebelah Mata
Mami Yuli saat berbincang di Ruang Publik KBR. (Foto: KBR/ Eka J)

KBR, Jakarta - Pelbagai stigma kerap diterima kelompok transgender di Indonesia hingga kini. Perlakuan buruk dari sebagian orang itu salah satunya berimbas ke akses pendidikan bagi transgender. Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia, Yulianus Rettblaut saat berbincang di program Ruang Publik KBR mengungkapkan, kelompoknya kesulitan bahkan hanya untuk beroleh hak dasar semacam pendidikan. Kalaupun ada, mereka harus menanggung olok-olok juga cibiran dari sebagian orang.

"Data yang kami punya itu ada sekitar 85% waria di Jakarta tidak mengenyam pendidikan," kata Yulianus kepada KBR.

Menurut Mami Yuli, terbatasnya akses transgender terhadap dunia pendidikan dipengaruhi beberapa hal. Di antaranya meyoritas transgender yang datang ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya adalah yang terpinggirkan dari keluarga.

"Ketika mereka speak up mengenai jati diri mereka, keluarga menolak mereka dan berimbas pada kehidupan mereka yang tidak menentu."

Pada akhirnya ketika para transgender dengan latar belakang seperti itu merantau ke kota, mereka datang tanpa bekal pendidikan dan kemampuan yang mumpuni. Biasanya, sebagian di antaranya berakhir menjadi pengamen jalanan atau pekerja seks.

Faktor kedua adalah faktor ekonomi. "Di Jakarta ada harapan mereka bisa mengejar paket pendidikan semacam itu, tapi jangankan untuk membayar paket pendidikan, untuk makan saja mereka sudah susah," imbuh Mami Yuli.

Hal lainnya adalah stigma dan diskriminasi dari masyarakat. Bahkan untuk para transgender yang sudah berhasil sekalipun melewati jenjang pendidikan sarjana.

Mami Yuli bercerita ketika ia mengambil pendidikan S1, selama enam bulan pertama ia jadi bahan olok-olok lingkungan sekitar. Ia merasa bersyukur punya mental yang kuat. Diskriminasi itu justru ia jadikan pemantik untuk membuktikan bahwa transgender juga mampu cemerlang di bidang pendidikan.

Mami Yuli yang kini menempuh pendidikan doktoral jurusan Hukum dan Tata Negara berharap, perjuangannya itu bisa mendorong kawan lainnya untuk melakukan hal serupa.

"Aku punya cita-cita menjadi politikus. Ketika aku punya pemahaman hukum yang intelektual jadi bisa memposisikan diri kami di mana dan pada saat mana memperjuangkan hak-hak kami sebagai warga negara," tutur Yuli saat menjelaskan soal alasannya memilih jurusan hukum.

Kini ia pun tengah mengalami masalah kesulitan keuangan untuk melanjutkan program doktoralnya di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya. Itu sebab, sebuah petisi Bantu Mami Yuli Raih Gelar Doktor Hukum dan Tata Negara pun digagas melalui change.org.

"Dengan pendidikan, kita tidak akan lagi dipandang sebelah mata. Mereka yang selalu berpikir bahwa waria (transpuan) itu tempatnya hanya di pinggir jalan dan di lampu merah akan bisa melihat, bagaimanapun sulitnya tekanan yang diberikan kepada kita, kita pasti akan mampu melewatinya," tulis Mami Yuli mengawali petisi tersebut.

"Dengan pendidikan, kita tidak akan lagi dipandang sebelah mata. Mereka yang selalu berpikir bahwa waria (transpuan) itu tempatnya hanya di pinggir jalan dan di lampu merah akan bisa melihat, bagaimanapun sulitnya tekanan yang diberikan kepada kita, kita pasti akan mampu melewatinya," tulis Mami Yuli mengawali petisi di Change.org.

Dari target pengumpulan dana Rp100 juta, hingga Senin (24/9/2018) ini telah terkumpul 10 persen atau Rp10.267.644. Penggalangan dana untuk transpuan usia 57 tahun itu masih berlangsung hingga 46 hari ke depan.

"Saya sekolah tinggi-tinggi seperti ini bukan cuma untuk saya, tapi untuk seluruh komunitas waria, untuk seluruh masyarakat Indonesia. Agar kita semua sadar bahwa Pendidikan adalah hak mutlak kita sebagai warga negara."

Baca juga:


Bangun Rumah Singgah Waria Lansia Pertama Di Dunia

Bukan saja menjadi transgender pertama di Indonesia yang menempuh pendidikan hingga S3, Mami Yuli juga berhasil mendirikan rumah singgah untuk waria lansia. Kata dia, gagasan ini jadi yang pertama di dunia. Ide itu tercetus kala ia mendapati jumlah transgender berusia lanjut di Jakarta yang mencapai 831 orang.

Para waria tersebut adalah orang-orang yang selama ini sudah tidak memiliki keluarga atau, tak diakui keluarganya lagi. Rumah singgah tersebut jadi ruang bagi mereka untuk mengisi masa tua.

Tapi ikhtiarnya itu tak lepas dari kendala. Mami Yuli menuturkan, daya tampung rumah singgah itu hanya mampu menampung 15 orang per harinya.

"Jadi para teman-teman waria lansia ini hanya bisa kami tampung selama 2-3 hari saja. Selama masa singgah tersebut, kami berusaha berdayakan dan carikan solusi terbaik ke depannya untuk mereka," kata dia.

Ia pun mengakui, sumber dana bantuan untuk rumah singgah juga terbatas. Selama ini mereka mengandalkan bantuan dari gereja dan sukarela dari mahasiswa.

"Kami berharap pemerintah lihat ke kami juga, lihat bahwa kami ini makhluk hidup juga yang punya hak sama seperti orang-orang lainnya."

Mami Yuli berharap, pemerintah menjamin dan memberikan perlindungan ke kelompok transgender layaknya warga negara lain. Hal ini menurutnya sesuai dengan Undang-Undang HAM No. 39 Tahun 1999 yang mengatur bahwa kelompok masyarakat rentan haknya harus dipenuhi oleh negara.



Editor: Nurika Manan

  • Waria
  • Akses Pendidikan
  • transgender

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!