BERITA
Sweeping Pernik Natal, Setara: Aparat Mendiamkan Bikin Besar Kepala
"'Kalau Negara Tegas pada Ormas Intoleran, Pasti Dapat Dukungan Publik'"
Agus Lukman
KBR,
Jakarta- LSM perdamaian dan demokrasi Setara Institute menilai
pemerintah memberi ruang yang begitu bebas terhadap kelompok FPI dan
ormas-ormas serupa sehingga membuat mereka seperti tidak tersentuh
hukum.
Wakil Direktur Setara Institute Bonar Tigor Naipospos
mengatakan selama ini tindakan pemerintah dan aparatur yang mendiamkan
ormas radikal membuat kelompok-kelompok itu besar kepala dan seperti
berada di atas hukum. Padahal jika negara berani tegas mengambil
tindakan hukum akan mendapat dukungan publik.
"Semua
tergantung pada negara. Kalau negara mau dan berani melakukan tindakan,
saya yakin negara akan mendapat dukungan publik. Kelompok mainstream,
kelompok moderat seperti NU dan Muhammadiyah juga sudah lama gerah
melihat kelompok seperti ini. Mendagri juga beberapa kali mengatakan
akan membubarkan ormas yang dalam pemikiran dan tindakannya bertentangan
dengan Pancasila. Tapi sayangnya ini hanya berhenti pada retorika.
Seperti malas mencari langkah-langkah berikutnya," kata Bonar Tigor
Naipospos kepada KBR, Senin (19/12/2016).
Baca juga:
<li><b>
Sweeping Pernik Natal, Tito Sesalkan Fatwa MUI
<li><b>
Pernik Natal, MUI: Fatwa Bukan untuk Legalkan Sweeping
Wakil
Direktur Setara Institute Bonar Tigor Naipospos meminta pemerintah dan
aparat jangan sampai kecolongan dengan membiarkan ormas-ormas intoleran
berkembang semakin besar dan membuat masyarakat resah.
"Kalau
kita belajar dari negara-negara yang mengalami konflik, seperti di Timur
Tengah atau Afrika, itu semua muncul karena negara membiarkan
kelompok-kelompok garis keras semacam ini. Negara enggan dan malas
menangani mereka. Akhirnya semua menjadi tidak terkontrol, tidak
terkendali lagi. Kelompok ini membesar dan eskalasinya sudah jauh di
luar jangkauan negara," kata Bonar Tigor.
Setara Institute saat
ini sedang mengumpulkan data mengenai kasus-kasus pelanggaran kebebasan
beragama dan akan mengeluarkan laporan pada awal tahun depan. Namun dari
data sementara, angka pelanggaran kebebasan beragama masih tinggi.
Bonar
Tigor mengatakan dari pantauan setahun terakhir ini, pemerintah dinilai
belum melakukan perubahan berarti baik di tingkat kebijakan maupun
tindakan terhadap kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama.
"Kedua,
kelompok vigilante (main hakim sendiri), kelompok intoleran itu tetap masih menunjukkan
taring. Mereka tetap mengganggu keamanan masyarakat. Sedangkan kelompok
minoritas yang kecil selalu dikorbankan dan selalu dibuat mengalah.
Lalu, ada kecenderungan meningkatnya fanatisme dan konservatisme dalam
keberagamaan di masyarakat," kata Bonar Tigor.
Baca: Kapolri Tegur Keras Kapolres: Cabut Surat Edaran yang Berdasar Fatwa MUI!
Kondisi
ini akan terus memburuk, kata Bonar, jika negara tidak segera mengambil
tindakan yang semestinya terhadap kelompok-kelompok semacam itu. Bonar
Tigor menyinggung kasus pembubaran ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani
(KKR) di gedung Sabuga, Bandung awal Desember lalu.
"Meski Wali
Kota Ridwan Kamil membuat statemen bahwa mereka (kelompok Pembela Ahlus
Sunnah) harus meminta maaf, pejabat juga menyebut itu pelanggaran hukum.
Mereka tidak juga minta maaf. Tapi apa selanjutnya? Tidak ada follow
up, tidak ada tindak lanjut. Padahal sudah tujuh hari (sudah melewati
tenggat waktu) sejak pernyataan Ridwan Kamil," lanjut Bonar Tigor.
Baca: PAS Tolak Minta Maaf, Polisi Selidiki Kasus Pembubaran KKR Natal
Bonar
Tigor juga mendesak negara atau pemerintah menegaskan dan menjelaskan
kepada masyarakat, mengenai posisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dalam tata peraturan dan hukum positif di Indonesia. Fatwa MUI itu
selama ini kerap dijadikan dasar bagi ormas intoleran untuk memaksakan
kehendak.
"Sudah jelas, fatwa MUI itu bukan sumber hukum dan tata
peraturan. Syaratnya adalah terserah pada invididu masing-masing, mau
taat (fatwa MUI) atau tidak. Kalau rasional, sesuai kepentingan ya
silakan diikuti fatwa itu. Tapi tidak ada kewajiban bagi negara atau
aparat siapapun untuk mengawal fatwa MUI, apalagi memberikan
perlindungan bagi kelompok tertentu yang ingin memaksakan fatwa MUI
itu," kata Bonar Tigor.
Baca: Masih Perlukah Keberadaan MUI?
Editor: Rony Sitanggang
- FPI
- ormas
- Setara Institute
- intoleransi
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!