OPINI

Sel Mewah Koruptor

Saat sidak berlangsung, Novanto sedang berbincang dengan narapidana Nazaruddin di kamar sel. Novanto diduga bebas keluar masuk sel tanpa batas waktu.

AUTHOR / KBR

Ilustrasi penjara mewah
Ilustrasi penjara mewah (foto: pexel)

Penjara Sukamiskin, Jawa Barat dan tingkah napi korupsi di dalamnya kembali bikin publik gerah. Selang dua bulan sejak operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK ), temuan baru kembali terungkap. Juli lalu publik dikejutkan dengan keberadaan "sel palsu" yang dipakai Setya Novanto.  Pekan lalu, Ombudsman menemukan kalau terpidana kasus korupsi KTP elektronik itu menghuni sel mewah. 

Novanto diketahui menempati kamar sel yang dua kali lebih luas  ketimbang sel narapidana lainnya. Toilet milik Novanto juga tidak sama seperti narapidana lainnya. Belum lagi penambahan karpet, shower mandi, dan barang-barang elektronik di dalam sel. Saat sidak berlangsung, Novanto sedang berbincang dengan narapidana Nazaruddin di kamar sel. Novanto diduga bebas keluar masuk sel tanpa batas waktu.

Penjelasan soal fasilitas berbeda yang diterima Setya Novanto dan napi korupsi lainnya tentu bisa saja dicari-cari. Mulai dari alasan kesehatan, sel warisan, dan sebagainya. Tapi mengapa privelese itu mesti diberikan? Mengapa harus ada hak istimewa itu? Tidakkah itu bentuk diskriminasi terhadap napi lain? Apakah  ini artinya tak semua napi sama kedudukannya di depan aturan penjara? Lalu kita bertanya, apa sih yang dimaksud Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ketika akan  mereformasi Lapas. Sebab sebagai orang yang paling punya otoritas toh mudah saja bagi Yasonna memerintahkan pembongkaran sel mewah di Sukamiskin.

Semua tahu, perkara jual beli fasilitas mewah di penjara bukan hal baru. Ini cerita lama yang berulang. Evaluasi perlu segera dilakukan supaya  pejabatnya bisa lebih becus mengurus  para penjahat ini.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!