BERITA

Realitas Kampung Pulo: 'Ini Bukan soal Tempat Tinggal, Tapi... ' (3)

""Ini bukan soal kemewahan rusun, tapi warga sudah biasa bekerja di dalam rumah. Yang utama dari pekerjaan sektor informal itu adalah tempat kerja, bukan tempat tidur.""

Agus Lukman

Realitas Kampung Pulo: 'Ini Bukan soal Tempat Tinggal, Tapi... ' (3)
Aksi sejumlah LSM yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat, berdemonstrasi di depan Balaikota Jakarta. Mereka menolak penggusuran Kampung Pulo. (Foto: Luviana)

Pengantar: Pada Kamis (20/8) hingga Sabtu (22/8), pemerintah DKI menggusur paksa rumah warga di kawasan Kampung Pulo di aliran Sungai Ciliwung. Kawasan itu dihuni sekitar 3,800 keluarga.

Kawasan ini digusur karena berada di bantaran sungai, dan kerap dilanda banjir. Warga menolak digusur karena tidak ada ganti rugi dari pemerintah, walaupun mereka mengklaim memiliki surat-surat tanah seperti girik, Letter C atau Verbonding Indonesia. Sementara pemerintah DKI Jakarta yang sebelumnya berencana memberi ganti rugi, berubah haluan. Pemerintah DKI menyatakan tidak ada ganti rugi karena warga tinggal di lahan milik negara.


Ketua Komunitas Sanggar Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi mengatakan banyak orang yang tidak tahu sejarah keberadaan Kampung Pulo. Padahal, keberadaannya sudah ada sejak sebelum kemerdekaan.

Senin (24/8) lalu, Pak Sandy---panggilan Sandyawan Sumardi---datang ke KBR. Ia menjelaskan banyak hal soal Kampung Pulo, bergantian dengan Soebandi (warga RW 03) dan Vera Soemarwi (kuasa hukum warga Kampung Pulo). Berikut lanjutan perbincangan mereka dengan KBR.

**


Mengapa warga tidak mau menerima tawaran pindah ke rumah susun?


Sandyawan: Ini bukan soal kemewahan rusun, tapi warga sudah biasa bekerja di dalam rumah. Yang utama dari pekerjaan sektor informal itu adalah tempat kerja, bukan tempat tidur.


Berbeda dengan sistem nilai kelas menengah ketika melihat apartemen. Jadi, ketika mereka kehilangan tempat kerja, mereka berpikir dimana lagi kita hidup.


Memang tinggal di Rusunawa itu sewa sebulan Rp300 ribu. Tapi kalau ditanya, berapa biaya yang sebenarnya mereka keluarkan? Besarnya sampai Rp700 ribu sampai Rp750 per bulan. Untuk gas, dan lain-lain. Bahkan, awal-awalnya ditarik Rp900 ribu, yang diminta sebagai deposit untuk awal uang muka, dibayar di Bank DKI.


Warga juga dipaksa mengisi formulir, dimanada ada pernyataan bahwa yang telah menerima kunci Rusun tidak mempunyai rumah di Kampung Pulo. Warga menjadi bingung padahal mereka punya tanah dan punya surat. Itu sebabnya ada keraguan sampai sekarang. Kenapa pindah saja sesulit itu.


Media juga banyak mengekspos kasus Kampung Pulo secara dangkal. Misalnya dengan pertanyaan kepada Gubernur yang tidak pas. Salah satunya, ada wartawan bertanya, "Pak Gubernur, kan warga ini sudah dikasih tempat tinggal, sudah dimanja. Kok masih saja melawan?”. Gubernur menjawab, "ya yang bodoh itu yang mendidik." Ini liputan media yang tidak mendalam.


***


Warga di Kampung Pulo memiliki sistim kekerabatan yang cukup bagus. Habib Soleh itu saudara-saudaranya ada yang di Condet, ada di jatinegara Kaum dan ada kerabat dengan Mbah Priok. Ada juga habib-habib di Luar Batang (Ancol Jakarta).


Bahkan Pak Suhana lawyer kami itu ditelepon oleh habib habib di Luar Batang (Ancol) untuk membicarakan Kampung Pulo. Sudah biasa keluarga yang dari Priok itu datang berziarah di makam yang dikeramatkan di Kampung Pulo. Ada emat makam keramat di situ. Ada yang baru saja ditemukan, itu makam dari abad 18. Jadi itu sebabnya Kampung Pulo menjadi tempat cagar budaya.


Arsitek kami akan menggambarkan gambar yang tampak asli semacam makam – makam itu tidak akan dhilangkan justru akan dipugar dan macam sebagainya. Ini lah keadaan yang seperti ini itu ada problem terbuka antara kami.


Sayangnya terjadi miskomunikasi antara warga dengan pihak Gubernur. Kami akan tetap terbuka untuk bekerja sama dengan pihak Gurbernur.

Dipolitisasi 

Banyak juga pihak-pihak yang mempolitisasi kasus Kampung Pulo. Partai politik hampir setiap hari datang ke Habib Soleh untuk bertanya-tanya. Ada dari DPRD, dari partai-partai untuk konsultasi. Ada juga yang menelpon saya, teman teman saya yang ada di DPR juga di organisasi macam-macam melakukan ajakan ajakan.

Mereka lebih banyak ingin menggunakan kasus ini untuk menabrakan suasana. Misalnya kemarin salah satu pengacara yang pernah menangani kasus Budi Gunawan, yaitu Razman Nasution, datang ke Habib dengan tiga pembantunya. Mereka bertanya tentang bagaimana itu tanah. Lalu setelah mendapat jawaban Razman keluar dan membuat sebuah konferensi pers, disitu sudah disiapkan media, termasuk dari TVOne.

Dan ia mendapat sorotan kamera lama sekali. Kami tahu karena warga Kampung Pulo yang mengambil filmnya. Pengacara itu mengatakan, "Saya selaku pengacara dari Kampung Pulo, juga mewakili sebagai juru bicara dari 17 pengacara..." Padahal kami tidak pernah memberi mandat kepadanya.

Bagaimana upaya masyarakat mengurus surat-surat tanah menjadi sertifikat?

Verra Soemarwi: Ada,, tapi prosesnya lama. Banyak yang tidak berhasil daripada yang berhasil.  Memakan biaya besar, dan waktunya lama---bisa delapan tahun. Apakah pemerintah sengaja mempermainkan kita atau tidak, kita tidak tahu. Padahal pemerintah Belanda saja mengakui surat kita itu, masa pemerintah kita tidak mengaui?  

Apa pernah mencoba audiensi dengan Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional, agar membantu sertifikasi tanah warga Kampung Pulo?


Verra Soemarwi: BPN dulu punya program PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria). Lewat PRONA ini memang ada beberapa warga Kampung Pulo yang bisa dapat sertifikasi. Tetapi kelemahan program PRONA, tahun 1980-an sampai 1990-an itu karena kurangnya sosialisasi, kemudian birokrasi yang berbelit-belit, dan tetap memakan biaya. PRONA itu tadinya kan gratis, terutama untuk warga tidak mampu. Ternyata proses di lapangan itu tidak gratis. Ada sejumlah biaya yang harus dikeluarkan warga. Sedangkan kemampuan warga untuk memproses surat tanah itu tidak semua sama. Juga tidak semua warga punya pemahaman tentang hukum kepemilikan tanah y ang jelas.

Lalu ada program LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah), yang baru yang diadopsi oleh Pemerintah Jokowi dalam program Nawacita-nya beliau, bahwa seluruh kampung khususnya kampung pemukiman yang dinilai ekonominya dibawah rata rata nilai ekonominya, akan diprioritaskan. Kampung Pulo itu dari segi Nawacita mestinya masuk prioritas. Tapi ternyata tidak.


Kami juga pernah memberikan dokumen surat tanah warga kepada Ibu Khofifah dari Kementerian Sosial. Bu Khofifah akan berjanji memberikan semua bukti itu baik yang dalam bentuk hardcopy atau yang softcopy kepada Kementrian Agraria dan Tata Ruang. Tapi saya tidak tahu beliau terima atau tidak. Kami memang belum pernah memberikan surat permohonan audiensi dengan Kementerian Agraria karena memang tidak pernah mendapatkan tanggapan.


Apakah sudah mencoba menyamakan persepsi antara warga dengan pemerintah DKI?

Verra Soemarwi: Sudah kami coba pada tanggal 24 Juli itu kami menyerahkan dokumen dokumen. Dan Pak Gubernur membenarkan kalau itu adalah tanah adat. Tapi kemudian pada tanggal 4 Agustus pemerintah DKI berubah menganggap tanah warga Kampung Pulo itu tanah negara. Di dalam pertemuan itu kami sudah menjelaskan kalau itu bukan tanah negara, bisa dilihat dari sejarah riwayat tanah itu. Saya jelaskan juga tanah itu Verponding. Tapi Gubernur menjawab Verponding itu sudah selesai setelah 20 tahun Indonesia merdeka.

Saya jelaskan kepada Pak Gubernur itu kalau Verponding itu masih belaku sampai jaman sekarang. Tapi dia tidak mau dengar, padahal dia mengakui pernah mengalami suatu sengketa tanah Pemkot Jakarta Barat, tanah bekas kantor Walikota Jakarta Barat itu dikalahkan oleh bukti kepemilikan Verponding. Kemudian dikatakan Pak Lurah dalam pertemuan itu, memang ada sepertiga warga memiliki surat jual beli bangunan di atas negara. Itu diakui oleh Lurah. Walaupun bagaimanapun oleh kelurahan Verponding itu akan tetap dilampirkan di atas surat jual beli bangunan/di atas tanah negera. Warga tidak tau apa itu Verponding, yang penting bisa jual beli dan diakui oleh Kelurahan dan dapat surat. Dan di girik itu juga masih dicatat di Kelurahan. Pemahaman warga tentang tanah adat itu kan hanya sampai disitu, karena tidak tahu kalau harus sampai ke BPN.


Sandyawan Sumardi: Siapa yang salah? Apa warga yang salah? Tentu tidak. Aturannya Kelurahan lah yang mestinya memberikan penjelasan ke warga. Saya katakan di Kelurahan pada tanggal 4 Agustus itu tanah Negara diakui oleh Kelurahan dan Kecamatan itu lantas apa namanya? Saya tanyakan hal itu sama Pak Gubernur. Pak Geburnur marah dan dia bilang itu oknum. Lalu saya tanyakan lagi, kalau transaksi jual belinya dari tahun 1979 – 2014 apakah itu oknum? Pak Gubernur marah berapi-api. Itulah problem jual beli tanah yang terjadi.


Intinya hak milik warga itu baik tanah atau bangunan tidak bisa langsung dirampas karena itu tanah milik Negara. Tanpa memberikan kompensasi. Itu bisa dianggap perampokan oleh negara.  


Pemerintah DKI juga salah paham. Tanah negara itu tidak identik dengan tanahnya pemerintah DKI. Pemerintah itu fasilitator warga negara, pelayan masyarakat. Pemerintah DKI itu sama dengan masyarakat, kalau mau mengakui hak tanah harus juga memberikan bukti kepemilikan tanahnya.


Kami khawatir dalam hal ini, yang dinormalisasi bukan hanya Sungai Ciliwung. Tetapi pikiran akal sehat masyarakat, bahwa pemerintah itu identik dengan Negara. Lalu penggusuran dengan kekerasan itu sah. Itu yang sedang dinormalisasikan di akal sehat masyarakat. Saya rasa itu tidak benar.

Jadi yang ditakutkan adalah pikiran bahwa hanya orang kelas atas saja yang lebih pantas memilik tanah di pusat kota. Ini ada orang miskin kok juga mau dapat tanah di pusat kota. Bahkan dia juga dibangunkan rumah susun dan sebagainya.

Sayang sekali. Sekarang bukan hanya warga Kampung Pulo saja yang di-bully. Banyak pakar yang membatu kami yang jumlahnya sampai 50 itu juga di-bully di tempatnya masing-masing. Ada dosen di UI dan di Unpad yang ikut mendukung kami juga di-bully. Ini maksudnya apa?


Sangat tidak sehat reaksi orang---ketika mem-bully mereka yang datang hanya ingin menunjukkan solidaritas.


Apakah ada pembisik yang membuat Ahok berubah pikiran?


Verra Soemarwi: Kalau melihat semua benang merahnya ada di Pak Camat ini. Pada saat pertemuan tanggal 4 Agustus itu, Pak Camat sofyan itu mengatakan kalau penggusuran ini pakai cara lama. Saya diam saja, karena saat itu Surat Peringatan (SP) 2 yang dikeluarkan Pemerintah DKI sedang digugat. SP2 itu saya gugat ke pengadilan, karena ada pelanggaran terhadap prinsip pemerintahan umum yang baik.

Jadi ketika tanggal 5 Juni itu ada sosialisasi supaya warga pindah dengan alasan kalau tanah itu akan digunakan normalisasi. Kalau memang untuk normalisasi, tanah tentu akan dibangun untuk pembangunan nasional. Kalau untuk pembangunan nasional berarti ada undang-undanganya tahun 2012, Peraturan Presiden 71 tahun 2012.  Intinya ada hak penghargaan atas tanah dan juga di dalamnya ada ganti rugi.  Juga berbagai macam ganti rugi yang ditawarkan Undang undang.


Namun mereka katakan dalam normalisasi itu tidak akan ada ganti ruginya. Lalu 5 hari setelah sosialisasi itu keluar Surat Peringatan (SP) 1 yang menggunakan dasar hukum bahwa pemukiman warga itu melanggar Perda Ketertiban Umum, karena membangun bangunan di atas sungai. Dasar hukum yang lain itu tahun 2008, dan alasan lainnya adalah bangunan itu tidak mempunyai IMB.


Tidak mempunyai IMB itu dasar hukumnya Perda tahun 2010. Padahal bangunan warga itu dibangun jauh sebelum tahun 2008. Bahkan ada yang membangun dari tahun 1948. Artinya pemerintah daerah telah melanggar asas nonretroaktif (tidak berlaku surut) dengan mengajukan SP 1 itu. Kemudian pelanggaran terhadap hak asasi. Dan juga tidak ada keterbukaan umum.


Ada juga asas pemerintahan yang dilanggar sendiri oleh pemerintah. Memang setelah SP 2 itu digugat ada vakuum selama satu bulan. Tapi Pak Gubernur tetap ingin penggusuran itu tetap dilakukan. Lalu SP 3 keluar, sekitar tanggal 6 Agustus, dan diberikan warga pada tanggal 7 Agustus.

Setelahnya tanggal 14 Agustus kami gugatkan ke Pemprov. Jika Pemprov sangat menghargai proses hukum, dia pasti akan berhenti (menggusur) hingga proses kepastian hukum ini selesai. SP 3 itu sedang dalam proses pengadilan, hingga kami layangkan pengaduan ke presiden.

Kemudian, keluarlah itu bongkar paksa. Bongkar paksa itu dilanggar karena sudah jelas melanggar SP3 dan dasar hukumnya pun dilewati. Dan Camat saat waktu pembongkaran mengatakan sudah tidak ada lagi perundingan itu. Apapun yang terjadi harus bongkar semuanya. Jadi dengan model apapun tetap harus dibongkar.


Jadi soal Pergub yang dianggap tidak ada itu gimana?

Verra Soemarwi: Itulah lucunya. Karena yang Pergub 190 itu dianggap tidak berlaku lagi. Saya tanyakan kenapa tidak berlaku? Karena katanya belum sampai kebutuhan lahan 75 persen. Lalu yang dimaksud kebutuhan lahan 75 persen itu yang bagaimana? Berapa luas sebenarnya yang 100 persen itu? Katanya dari yang normalisasi. Padahal dari Pergub 190 itu, untuk pembangunan seluruh wilayah Jakarta.


Kalo memang dia transparan pasti akan tahu berapa kebutuhan 100 persen tanah, buat pembangunan di wilayah DKI ini. Dari situ kita bisa mengukur kebutuhan yang 75 persen itu apa sudah terealisasikan apa belum. Kan bisa mengaudit apakah 75 persen itu sudah terjamin apa belum. Ini semua sudah ada dalam kosideran. Konsideran itu semacam pertimbangan Pergub yang termasuknya menimbang dan ada peraturannya juga.

Konsideran tidak bisa diartikan dasar hukum untuk sebuah keputusan. Tetapi konsideran itu dipakai sebagai pertimbangan sebagai kebijakan. Makanya agak lucu kalau konsideran itu digunakan sebagai dasar hukum. Itu yang mengatakan justru Biro Hukumnya Pemprov DKI. Dan diaminkan oleh Gubernur.

Apakah angka 100 persen-nya tidak pernah muncul?

Verra Soemarwi: Saya sudah menanyakan angka 75 persen kebutuhan itu sudah berapa banyak yang terpenuhi? Patokannya yang dipakai jangan Jatinegara Barat saja. Itu Kali Ciliwung yang sudah dibongkar bukan hanya Jatineraga yang dipojokkan situ. Yang di Manggarai Selatan atau Manggarai Utara juga sudah dibongkar. Artinya Pergub 190 itu kan program DKI untuk keseluruhan, bukan hanya untuk Kampung Pulo saja.


Yang saya sesali karena pembatalan Pergub-nya itu hanya melalui lisan. Yang disampaikan oleh Wakil Camat Bapak Andriansyah. Yang diutarakan di Kantor Walikita yang didampingi oleh Kantor Walikota,


Jadi langkah selanjutnya bagaimana??

Sandyawan Sumardi: Kalau dari pihak kami begini. Kami melihat ke depan. Ini terjadi baru sebagian Kampung Pulo belum semuanya. Juga melihat kampung lainnya. Saya melihat ada 170 ribu warga kampung yang belum digusur. Kira-kira segitulah jumlahnya yang akan mengalami seperti di Kampung Pulo. Maka kami menginginkan ada perubahan cara komunikasi Pemprov DKI terhadap warga masyarakatnya.  Termasuk Kampung Pulo. Termasuk cara pendekatannya. Itu harus dievaluasi. Karena banyak sekali kesalahan-kesalahan.  


Warga kan juga hanya manusia biasa. Yang banyak melakukan kesalahan juga. Dimaksudkan jika kesalahan itu kenapa mereka atau warga yang kurang mengerti itu harap dijelaskan dengan ganti rugi saja. Tetapi kalau ingin membangun kampung susun berbasis keanekaragaman itu harus dlakukan dengan sebaik mungkin.


Soebandi: Kita di Jakarta ini sedang melakukan pembangunan besar-besaran. Disitu ada aturannya. Jika ada tanah mau digusur, ada prosesnya. Tapi ini prosesnya terlalu cepat. Jangan ada korupsi proses, manipulasi proses. Kalau itu terjadi berarti terjadi pelanggaran. Kalau ada pelanggaran satu, akan ada pelanggaran turunan. Ini yang harus sama-sama kita cermati.

Kemana warga akan mencari kerja?

Sandyawan Sumardi: Mereka harus bekerja di luar Rusun. Ustad Kholili bilang, biasanya kalau di Kampung Pulo, warga bangun pagi bisa ngopi, bisa beli bubur, bisa nongkrong. Lalu ketika tinggal di rusun baru, tiba tiba hilang semuanya. Artinya, masalah hak hidup itu dirampas secara paksa. Yang artinya suka tidak suka kami harus begini.


Biasanya sebelum rumahnya dibongkar warga bisa melakukan aktivitas dagang, ada silaturahmi dengan lingkungan. Sekarang sepertinya mereka harus dipaksakan menerima lingkungan dan menerima aturan aturan yang ada. Biasanya hidup punya kepuasan diri. Yang paling mahal kan kepuasan dirinya. Biar kita hidup enak tapi gak puas kan gak terpenuhi juga kebutuhan hidup. Jadi rasa kepuasan diri itu diputuskan oleh pemerintah saat ini. Meskipun fasilitas yang diberikan pemerintah itu enak, belum tentu juga enak dirasakan masyarakat.


Saya beri ilustrasi sedikit. Tahun lalu ada dua orang arsitek Indonesia yang sudah mengajar dan praktek di Singapura. Sudah bekerja di sana selama tujuh tahun. Mereka lulusan Unpar. Mereka minta izin melakukan penelitian di Kampung Pulo.


Arsitek itu bilang, luar biasa ternyata Kampung Pulo itu. Walapun kumuh daerahnya, dan banyak peduduknya, tetapi tidak ada angka bunuh diri satu pun disana. Di Singapura, arsitek ini ikut membangun apartemen. Ternyata angka bunuh dirinya makin tahun selalu bertambah disana. Bahkan ada sekitar tujuh pembantu rumah tangga di Singapura. Berita ini membuat geger di Singapura. Faktor seperti ini yang harus dicermati oleh pemerintah.


Baca juga:


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!