BERITA

Polemik RUU Pesantren, Setara: Atur Secukupnya Jangan Terlalu Ikut Campur Urusan Agama

"Peneliti isu keberagaman dari Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menganggap penyusun Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Agama tak sepenuhnya paham mengenai isi aturan."

Heru Haetami, Iriene Natalia

Polemik RUU Pesantren, Setara: Atur Secukupnya Jangan Terlalu Ikut Campur Urusan Agama
Sidang Paripurna DPR RI. (FOTO : ANTARA)

KBR, Jakarta - Peneliti isu keberagaman dari Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menganggap penyusun Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Agama tak sepenuhnya paham mengenai isi aturan. Pasalnya, ada poin tertentu yang justru mempersulit pemeluk agama lain. Misalnya soal pengaturan sekolah minggu dan katekisasi. Ia menduga kebijakan ini muncul akibat regulator tak mengerti ajaran agama lain.

Kendati begitu, ia menyambut baik poin aturan yang bertujuan mempermudah lembaga keagamaan khususnya pesantren beroleh bantuan dana. 

"Tujuan RUU ini baik, tapi kemudian penyusun RUU ini tidak paham terlalu mengerti tata cara agama lain. Mereka mengabaikan dan menganggap sama sekolah minggu atau katekisasi itu sama halnya dengan pendidikan agama di pesantren", kata Bonar kepada KBR.

RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini menuai pro-kontra pelbagai kalangan. Presiden Joko Widodo pun angkat suara dan menyatakan akan mengkaji aturan tersebut sehingga tak menjadi polemik.

Sementara petisi di laman change.org pun telah dibuat guna menggalang dukungan warganet. Petisi online yang digagas Jusuf Nikolas Anamofa itu ditujukan ke  Ketua DPR, Komisi VIII DPR, dan Presiden Joko Widodo. Hingga Selasa (30/10/2018), petisi bertajuk "Negara Tidak Perlu Mengatur Sekolah Minggu dan Katekisasi" itu telah mendapat 167.341 tanda tangan.

Menanggapi protes sebagian warganet itu, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menilai, pemerintah tak selayaknya ikut campur terlalu jauh mengatur urusan internal umat beragama. Tapi ia tak menampik bila kondisi lembaga keagamaan yang masih bergantung pada bantuan dana pemerintah pun membuat situasi dilematis.

"Terpenting sebenarnya pihak (lembaga) agama harusnya bisa lebih mandiri dalam mengelola tata cara dan urusan internalnya. Kalau di negara lain misal Amerika, negara sama sekali tidak beri bantuan apapun buat aktivitas keagamaan. Sebaliknya, pihak keagamaan harus membayar pajak sesuai tata cara yang mereka lakukan. Indonesia ini lagi ditata tapi jangan sampai terjadi birokratisasi agama."

Baca juga:

Agar permasalahan ini tak berlarut, Bonar menyarankan RUU yang digagas fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan itu cukup mengatur mengenai bantuan bagi pesantren. Sementara poin yang mengatur kegiatan agama lain menurutnya harus dihapus lantaran dianggap tak urgen.

"RUU Pesantren saja. Tidak perlu ada embel-embel. Cukup apa yang bisa dilakukan negara untuk membantu dan mengembangkan pesantren. Ini kan memang ada keinginan supaya tidak terlihat seakan-akan negara memprioritaskan agama tertentu. Saya pikir agama-agama lain juga tidak akan iri atau merasa dikesampingkan kok. Dalam perspektif HAM, negara harus menahan diri dalam merawat kebebasan beragama," sambung Bonar.

"Pesantren itu bagaimanapun juga institusi yang punya nilai historis bahkan jauh berperan sebelum Indonesia merdeka. Memang tidak ada salahnya pemerintah membantu perkembangan pesantren," tambahnya.

Sebelumnya, Badan Legislasi DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menjadi RUU inisiatif DPR. Beleid ini menuai protes Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) terutama soal dua pasal yang mengatur pendidikan agama Kristen yakni, pasal 69 dan 70.

Dalam aturan itu, Sekolah Minggu dan Katekisasi atau pengajaran dalam ilmu agama Kristen dianggap sebagai pendidikan formal yang terpisah dari peribadatan. Sehingga mensyaratkan sejumlah ketentuan dalam pelaksanaannya. Padahal, menurut PGI, Sekolah Minggu dan Katekisasi adalah proses interaksi eduktif non-formal yang lazim dilakukan gereja-gereja di Indonesia. Dua kegiatan ini masuk kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja. PGI khawatir ada potensi intervensi negara melalui RUU tersebut.



Editor: Nurika Manan

  • #ruupesantren
  • #dpr
  • #setarainstitute

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!