BERITA

Pakar: GBHN Tidak Jamin Pembangunan Terintegrasi

"Seakan-akan kalau ada GBHN semua masalah itu selesai. Saya kira ini pengandaian yang logikanya lompat."

AUTHOR / Astri Yuana Sari, Adi Ahdiat

Pakar: GBHN Tidak Jamin Pembangunan Terintegrasi
Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara sekaligus salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). (Foto: www.pshk.or.id)

KBR, Jakarta- Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti tidak yakin bahwa wacana pemunculan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) bisa membuat pembangunan lebih terintegrasi.

"Saya kira tidak tepat juga untuk mengandaikan bahwa (GBHN) solusi dari pembangunan yang tidak terintegrasi. Seakan-akan kalau ada GBHN semua masalah itu selesai. Saya kira ini pengandaian yang logikanya lompat," kata bivitri kepada KBR, Selasa (13/8/2019).

"Karena dalam melaksanakan program kerja ataupun pembangunan dan sebagainya, itu faktornya banyak sekali, bukan sekadar satu dokumen yang kemudian disebut sebagai GBHN itu," lanjutnya.

Bivitri menyebut, saat ini sudah ada Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang memuat visi 20 tahun.

Ia menilai SPPN sudah memiliki indikator keberhasilan dan target yang jelas, karena berisi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (20 tahun), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (5 tahun), dan Rencana Kerja Pemerintah (1 tahun).

Agenda Politik

Bivitri  mencurigai ada kepentingan politik di balik wacana pemunculan kembali GBHN yang dilontarkan PDI-P.

"Kalau memang tidak relevan dengan sistem ketatanegaraan yang sekarang, kenapa sih dipaksain? Nah, jadi kan tidak salah kalau kemudian muncul kekhawatiran dari orang-orang, termasuk saya sendiri. Jangan-jangan ada agenda politik di belakangnya," kata Bivitri kepada KBR, Selasa (13/8/2019).

Menurut pakar hukum tata negara ini, dalam konteks ketatanegaraan pasca amandemen 1999-2002, GBHN sebenarnya sudah tidak relevan lagi.

Bivitri juga mengatakan, menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi akan menimbulkan masalah dalam sistem politik Indonesia.

"Lembaga tertinggi yang berada di atas lembaga lain akan membuat check and balance antar lembaga negara tidak berjalan dengan baik," jelasnya.

Editor: Rony Sitanggang


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!