BERITA

Meski Ditolak MRP, DPR Sahkan Revisi Otonomi Khusus Papua

"Keberadaan Otsus Papua masih mendapatkan penolakan dari masyarakat asli Papua."

Heru Haetami

Meski Ditolak MRP, DPR Sahkan Revisi Otonomi Khusus Papua
Ilustrasi Papua.

KBR, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Revisi Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Otsus Papua) menjadi Undang-Undang.

Pengambilan keputusan itu dilakukan dalam rapat paripurna penutupan masa persidangan V DPR tahun sidang 2020-2021, Kamis (15/7/2021) siang. Rapat dipimpin Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.

"Selanjutnya kami menanyakan kepada seluruh anggota apakah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Otsus Papua) dapat disetujui menjadi Undang-undang?," tanya Dasco.

"Setuju" jawab anggota lainnya.

Mendapat Penolakan

Keberadaan Otsus Papua masih mendapatkan penolakan dari sejumlah masyarakat asli Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) salah satunya, yang mengaku kecewa lantaran tidak dilibatkan dalam persetujuan rencana pemekaran wilayah. Aturan pemerakan wilayah masuk dalam salah satu pasal perubahan dalam revisi undang-undang itu.

Padahal menurut mereka, suara MRP telah mewakili masyarakat asli Papua.

Penolakan juga disuarakan oleh kalangan mahasiswa di Papua. Kemarin, sejumlah mahasiswa melakukan demonstrasi untuk menolak Otsus Papua itu. Mereka menolak tegas perpanjang Otsus Papua dan segala komprominya yang dinilai sepihak.

Aksi demonstrasi ini sempat diwarnai kericuhan lantaran dibubarkan oleh pihak kepolisian. Beberapa mahasiswa sempat ditangkap dan diperiksa, kemudian dibebaskan pada sore hari.

Di tempat lain, LSM Amnesty Internasional Indonesia mendesak pemerintah dan DPR untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat Papua --khususnya orang asli Papua-- benar-benar dilindungi oleh UU tersebut.

"Meskipun undang-undang sebelumnya memuat banyak pasal yang melindungi hak orang asli Papua, ada banyak fakta bahwa pemerintah tidak serius melaksanakannya. Bahkan sering melanggar hak-hak tersebut selama 20 tahun. Kini, kebijakan otonomi khusus itu ditolak, terlebih karena tanpa konsultasi yang memadai dari orang asli Papua," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melalui keterangan tertulis, Kamis (15/7/2021).

Pansus Klaim Akomodir Masukan

Panitia Khusus (Pansus) pembahasan Revisi Undang-Undang Otsus Papua mengklaim telah menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat asli Papua.

Klaim itu disampaikan Ketua Pansus Otsus Papua DPR Komarudin Watubun dalam laporan hasil pembahasan UU Otsus Papua, saat sidang paripurna, Kamis (15/7/2021).

"Pansus juga mendengarkan beberapa masukan dari masyarakat dalam forum rapat dengar pendapat umum yang dilakukan tanggal 1 sampai tanggal 5 Mei di Papua maupun Papua Barat," kata Komarudin.

Dia memaparkan, rapat dengar pendapat umum telah melibatkan pemangku kepentingan, forum komunikasi, Muspida Provinsi, MRP, DPRD Papua, Majelis Rakyat Papua Barat, serta DPRD Papua Barat.

Ia juga mengklaim sudah menampung aspirasi dari tokoh-tokoh dan masyarakat asli Papua.

Dia mengakui, RUU usulan pemerintah itu melalui dinamika yang cukup alot dalam proses pembahasannya. Lantaran masih adanya sejumlah pasal yang tidak dapat diakomodir dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut.

"Hukum tertinggi adalah kekeluargaan. Hal inilah yang menuntun pansus dan pemerintah mencapai kata sepakat dari pasal-pasal yang sebelumnya terasa sulit untuk diakomodir. Untuk itu kepada pemerintah saya ucapkan terima kasih," katanya.

Otsus Papua dijalankan sejak 2001 pada masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputi dan berakhir tahun ini. Pemerintah dan DPR memutuskan untuk membentuk dan membahas perpanjangan Otsus Papua, hingga disahkan hari ini. 

Editor: Wahyu S.

  • Revisi UU Otsus Papua
  • Papua

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!