RAGAM

Mengapa Hutan Indonesia Terus Dirusak?

"Kawasan konservasi ditetapkan karena mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, artinya haram hukumnya untuk ditanami sawit."

Paul M Nuh

Mengapa hutan Indonesia terus dirusak?
Tangkapan layar Konferensi Pers Greenpeace Indonesia.

KBR - Jakarta. Analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map menemukan seluas 3,12 juta hektar (ha) perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019. Seperti dikutip dalam laporan terbaru Greenpeace Indonesia, setidaknya terdapat 600 perusahan perkebunan di dalam kawasan hutan, dan sekitar 90.200 hektar perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan konservasi.

Temuan ini membuktikan bahwa perkebunan kelapa sawit beroperasi di hampir semua kategori kawasan hutan, mulai dari taman nasional, suaka margasatwa, bahkan di situs UNESCO. Semuanya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Sekitar 186.687 ha kebun sawit dalam kawasan hutan, teridentifikasi sebagai habitat orangutan, dan 148.839 ha sebagai habitat harimau Sumatera. Hal ini jelas mendorong kepunahan jenis satwa endemik milik Indonesia.

Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, bahwa kawasan-kawasan yang seharusnya dilindungi, malah dibabat habis untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. “Kawasan konservasi ditetapkan karena mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, artinya haram hukumnya untuk ditanami sawit.”

Hal ini terus terjadi diduga karena buruknya tata kelola kehutanan, tidak ada transparansi, pengawasan yang lemah, dan tumpulnya penegakan hukum. Persoalan ini menyebabkan perkebunan sawit ilegal menjamur di berbagai wilayah. Padahal berdasarkan kajian KPK tahun 2018, kerugian negara akibat penebangan ilegal mencapai 35 triliun rupiah per tahun, serta potensi pajak di sektor sawit mencapai Rp 40 triliun, namun pemerintah hanya mampu memungut pajak sebesar Rp 21,87 triliun.

Di antara perusahaan-perusahaan tersebut, Greenpeace Indonesia juga mengidentifikasi hampir 100 perusahaan anggota RSPO dengan masing-masing memiliki lebih dari 100 ha yang ditanam di dalam kawasan hutan, sementara terdapat delapan perusahaan dengan masing-masing memiliki lebih dari 10.000 ha. Kendati ISPO merupakan inisiatif lebih baru, perusahaan bersertifikasi ISPO secara total memiliki 252.000 ha yang ditanam di dalam kawasan hutan. Padahal kedua mekanisme sertifikasi ini secara jelas harus mematuhi hukum yang berlaku.

Greenpeace Indonesia juga menemukan sepanjang tahun 2001-2019, hutan primer seluas 870.995 Ha dalam kawasan hutan telah berubah menjadi kebun sawit dan diperkirakan telah melepas sekitar 104 juta metrik ton karbon. Ini setara dengan 33 kali emisi karbon tahunan yang dihasilkan untuk konsumsi listrik oleh semua rumah di Jakarta, atau 60% dari emisi tahunan penerbangan internasional.

Menurut Arie, perusahaan yang secara ilegal mengoperasikan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan harus mendapat sanksi yang tegas, tidak hanya administratif tetapi juga sanksi pidana, alih-alih menikmati pemutihan. Ini diperluan sebab upaya pembenahan sawit dalam kawasan hutan sudah dimulai hampir satu dekade lalu. Pertimbangan dampak ekologi perlu dimasukkan ke dalam rencana tata ruang, sementara penguatan pekebun swadaya perlu dibantu, sehingga Indonesia bisa memastikan ekonomi yang berkelanjutan berjalan seirama dengan perlindungan keanekaragaman hayati, dan mempertahankan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat untuk mengurangi dampak krisis iklim.

Baca juga: Akademisi: Demokrasi Indonesia tidak Mendukung Perlindungan Lingkungan

  • nativead
  • adv
  • greenpeace indonesia
  • kelapa sawit
  • hutan
  • rspo
  • situs
  • ispo

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!