BERITA
Anas, Pinangki dan Tren Korting Vonis bagi Koruptor
"Kami tidak melihat ada sosok yang menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk bisa menjatuhkan hukuman yang maksimal kepada pelaku korupsi, sebagaimana dulu almarhum Hakim Artidjo Alkostar."
AUTHOR / Astri Yuanasari
KBR, Jakarta - Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memangkas vonis hukuman Pinangki Sirna Malasari menuai kritik dari banyak pihak.
Pemangkasan hukuman dari semula 10 tahun penjara menjadi empat tahun penjara dinilai melukai upaya pemberantasan korupsi di tanah air. LSM Antikorupsi ICW mencatat sepanjang 2020 ada 14 terpidana korupsi yang dikorting hukumannya.
Korting hukuman penjara sebelumnya juga dinikmati Anas Urbaningrum, bekas Ketua Umum Partai Demokrat, terpidana kasus korupsi Proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.
Pada 24 September 2014, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Anas Urbaningrum dengan hukuman 8 tahun penjara. Anas dinyatakan bersalah terbukti menerima hadiah dan melakukan tindak pidana pencucian uang. Anas juga diharuskan membayar uang pengganti kerugian negara sedikitnya Rp57,5 miliar.
Hukuman itu lebih ringan dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut 15 tahun penjara dan membaar uang pengganti Rp94,18 miliar.
Pada Februari 2015, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI mengabulkan gugatan banding dari Anas Urbaningrum. Hukuman dikorting dari 8 tahun menjadi 7 tahun penjara.
Tidak puas dengan putusan banding, Anas Urbaningrum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 8 Juni 2015, Mahkamah Agung menolak kasasi itu. Majelis hakim yang dipimpin Artidjo Alkostar justru memperberat hukuman Anas Urbaningrum menjadi 14 tahun penjara.
Anas Urbaningrum terus melakukan perlawanan dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Hasilnya, pada Oktober 2020, MA mengabulkan permintaan Anas dan mengurangi hukuman dari 14 tahun menjadi 8 tahun penjara.
Anas Urbaningrum ditahan sejak 2014. Dengan demikian, jika dia divonis 8 tahun penjara, Anas akan bebas pada 2022 mendatang.
Lembaga pemantau korupsi ICW mengungkapkan diskon masa hukuman terhadap koruptor rutin terjadi. Sepanjang 2020, setidaknya ada 14 terpidana korupsi yang dikorting hukumannya.
"Setidaknya sepanjang tahun 2020 ada 14 terpidana kasus korupsi yang dihukum lebih ringan dari konteks pengajuan peninjauan kembali. Misalnya ada nama seperti Dirwan Mahmud mantan Bupati Bengkulu Selatan, dari 6 tahun menjadi 4 tahun 6 bulan penjara. Jadi dipotong kurang lebih satu setengah tahun. Lalu ada Rohadi panitera PN Jakarta Utara, dari 7 tahun menjadi 5 tahun. Ada juga Anas Urbaningrum yang cukup menimbulkan perdebatan di tengah publik dari 14 tahun menjadi 8 tahun penjara di sepanjang 2020," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada KBR, Rabu (16/6/2021).
Baru-baru ini, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasati atas kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara.
Pemotongan hukuman tersebut diputuskan majelis hakim dengan mempertimbangkan beberapa hal. Salah satunya, karena Pinangki dianggap sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, pengurangan hukuman ini sangat tidak masuk akal. Seharusnya hukuman Pinangki justru diperberat karena statusnya sebagai penegak hukum saat melakukan kejahatan.
"Idealnya menurut pandangan kami hukuman yang paling tepat dijatuhkan kepada Pinangki adalah 20 tahun atau seumur hidup, bukan justru dipangkas 6 tahun seperti beberapa waktu yang lalu. Ada beberapa indikator kenapa kita tiba pada kesimpulan itu. Yang pertama, saat melakukan kejahatan, Pinangki berstatus sebagai jaksa yang notabene adalah penegak hukum. Lembaga kejaksaan tempat Pinangki bekerja adalah lembaga yang ditugasi untuk mencari keberadaan buronan Djoko Tjandra, bukan malah bahu membahu bekerja sama sebagaimana yang dilakukan oleh Pinagki. Selain hal tersebut kejahatan yang dilakukan itu tidak berdiri sendiri, akan tetapi ada tiga kejahatan sekaligus yang terbukti secara sah dan meyakinkan di muka persidangan. Mulai dari korupsi suap, pencucian uang dan juga terkait dengan permufakatan jahat," kata Kurnia.
Kurnia menyebut tren hukuman ringan untuk para koruptor di Indonesia sudah terjadi sejak belasan tahun lalu. Kata dia, sepanjang 2020 saja, rata-rata hukuman bagi koruptor di Indonesia hanya 3 tahun 1 bulan penjara.
"Dari pantauan ICW, tren hukuman ringan ini sudah terjadi sejak tahun 2005. Jadi itu selalu hukumannya tidak pernah masuk dalam kategori sedang. Kalau ringan itu dalam pandangan kami antara 0 sampai 4 tahun, sedang itu antara 4 sampai 10 tahun, dan berat itu di atas 10 tahun. Selama ini masih terus-menerus berkutat pada hukuman hukuman ringan," tambah Kurnia.
Menurut Kurnia, tren hukuman ringan untuk koruptor terjadi karena Mahkamah Agung tidak memiliki concern terhadap isu pemberantasan korupsi.
"Semestinya para hakim itu bisa merujuk pada pasal 5 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. Bahwa hakim sebelum memutus sebuah perkara mesti melihat dan merujuk nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat. Selama ini korupsi masih menjadi momok permasalahan di Indonesia. Mestinya itu inline dengan putusan atau terlihat dalam putusan-putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim di setiap tingkat pengadilan. Baik pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, atau mungkin yang selama ini dibincangkan oleh publik yang menjadi jalan pintas pelaku korupsi untuk mendapatkan hukuman ringan yaitu melalui Peninjauan Kembali (PK)," tambah Kurnia.
ICW menilai sejak hakim Artidjo Alkotsar pensiun dari Mahkamah Agung, tidak ada lagi sosok yang berani menjatuhkan hukuman maksimal bagi koruptor, seperti yang dilakukan Artidjo semasa hidupnya.
"Memang kami tidak melihat ada sosok yang menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk bisa menjatuhkan hukuman yang maksimal kepada pelaku korupsi, sebagaimana dulu almarhum Artidjo menjabat sebagai ketua Kamar Pidana yang sering menangani perkara perkara korupsi. Sejak yang bersangkutan pensiun dari Mahkamah Agung, putusan MA semakin anjlok dalam hal kasasi ataupun peninjauan kembali," kata Kurnia.
Editor: Agus Luqman
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!