SAGA
[SAGA] Mengapa Orangtua Mengajak Anaknya Bunuh Diri?
Percobaan mengakhiri hidup yang pernah coba dilakukan Yana disebut filicide-suicide atau pembunuhan anak oleh orangtua.
AUTHOR / Gilang Ramadhan
KBR, Jakarta - Nur Yana Yirah takkan lupa peristiwa enam tahun silam. Waktu itu, entah sudah berapa kali, ia nekat bunuh diri. Bahkan, ia sempat mengajak bayinya mengakhiri hidup. Tapi gagal.
“Jadi waktu anak saya berusia 9 bulan, saya bawa dia pergi ke danau. Saya niatnya ingin bunuh diri bersama dia. Tapi kemudian ada bapak-bapak menelpon suami saya. Upaya bunuh diri itu sudah mau berlangsung, tapi ada yang menyelamatkan,” kenang Yana.
Yana, tak tahu kalau ia mengalami depresi pasca melahirkan atau dikenal dengan istilah Postpartum Depression. Itu semua bermula setelah anak pertamanya meninggal dalam kandungan di usia 26 minggu. Lima bulan setelahnya, Yana hamil kembali. Tetapi, tak mudah baginya menghadapi kehamilan kedua itu.
Selama masa mengandung, Yana rupanya masih dihantui kematian bayinya. Ia kemudian sering bermimpi buruk tentang rumah sakit dan ruang operasi.
“Selama hamil itu saya tidak bisa merasakan kebahagiaan sebagai wanita hamil. Jadi saya hamil yang takut, cemas, anaknya takut meninggal lagi, kemudian mengisolasi dari lingkungan sekitar," tuturnya
"Jadi karena kehamilannya yang berisiko, saya mengalami pendarahan selama tiga bulan. Jadi saya banyak mengurung diri di dalam kamar, kemudian tidak optimis dengan kehamilan,” sambungnya.
Dengan kondisi itu, Yana melahirkan dengan caesar. Operasi dilakukan secara mendadak karena kondisi ketuban yang hampir habis dan plasenta yang tak mampu lagi mengalirkan nutrisi dengan optimal.
Dan pasca melahirkan, ia masih dililit depresi. Tak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya dilahirkan melalui proses caesar. Hal itu lantas diperberat dengan stigma dari lingkungan sekitarnya. Karena dianggap melahirkan tidak normal.
Begitu melihat bayinya, dia merasa tak punya ikatan batin atau hubungan emosional layaknya ibu yang baru saja melahirkan.
“Biasanya kalau ibu sehabis melahirkan itu ada perasaan sayang, ada perasaan dekat dengan bayinya, ingin berdekatan dengan bayinya. Tapi sebaliknya saya tidak merasakan bounding dengan bayi. Kemudian merasa gagal, merasa bersalah, merasa tidak dapat jadi ibu yang baik. Merasa jadi ibu yang gagal."
"Kemudian mudah tersinggung, mudah marah, sensitif, sulit tidur, tidak punya nafsu makan, tidak mau bersosialisasi, curiga dan paranoid terhadap orang lain. Tidak mau keluar rumah. Itu yang dirasakan, tidak bisa merawat diri dan tidak bisa merawat bayi.”
Berbincang dengan Yana di rumahnya di Cisauk, Tangerang, perempuan 31 tahun ini bercerita tak pernah menyangka masih diberi kesempatan berkumpul dengan suami dan dua anaknya yang berusia lima tahun dan dua tahun.
Sore itu, keluarga Yana terlihat asyik menonton film kartun di televisi.
Percobaan mengakhiri hidup yang pernah coba dilakukan Yana disebut filicide-suicide atau pembunuhan anak oleh orangtua dengan cara bunuh diri. Berdasarkan riset The Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law di Amerika dan Kanada, ada sekitar 16 – 29 persen ibu dan 40 – 60 persen ayah melakukan filicide-suicide.
Sementara di Indonesia, belum ada riset menyeluruh tentang filicide-suicide. Sehingga sulit menentukan jumlah kasus, faktor yang melingkupi terjadinya kejadian tersebut.
Namun ada banyak kasus dimana seorang ibu membunuh anaknya menjadi pemberitaan utama di media. Pertengahan Januari lalu misalnya. Seorang ibu di Jombang, diduga meminum racun bersama ketiga anaknya. Semua anaknya ditemukan meninggal, sementara sang ibu kritis. Polisi menyebut, si ibu depresi karena tidak dinafkahi suaminya.
Lantaran belum ada riset itu, Into The Light Indonesia –komunitas pencegahan bunuh diri, masih kesulitan menentukan apa saja latarbelakang psikologis pelaku filicide-suicide.
Tapi menurut Koordinator Into The Light Indonesia, Benny Prawira Siauw, ada banyak faktor mengapa orangtua mengajak anaknya bunuh diri. Semisal gangguan psikotik, depresi, dan riwayat pelayanan kesehatan.
“Menurut beberapa penelitian, ini terjadi karena motif yang diduga altruistik sifatnya. Justru bukan karena anak itu terluka ke depannya. Tapi justru dia pengen dalam tanda kutip menyelamatkan anaknya dalam kondisi yang memang gangguan jiwa," jelas Benny.
"Misalnya dia bisa saja memiliki waham atau delusi yang merasa anaknya ke depan memiliki masa depan yang suram sehingga lebih baik saya mati saja sama dia barengan,” sambungnya.
Itu sebab, Benny menyarankan para orangtua mengecek kesehatan jiwa secara berkala, terutama ketika ibu atau ayah berada dalam kondisi stres. Sementara untuk masyarakat, menghentikan stigma terhadap pelaku filicide-suicide.
Kembali ke keluarga Yana. Di tengah kondisi tak mengenakkan, seorang sahabatnya mengajak bergabung dengan Komunitas Peduli Trauma. Di situ, ia dibantu untuk pulih dari depresi. Beruntung psikologis Yana kian membaik. Tak ada lagi suara-suara yang menyuruh bunuh diri.
“Alhamdulillah dari situ sudah mulai membaik, tapi waktunya lama karena pada kasus saya dibutuhkan obat dari psikiater. Jadi ketika anak saya berusia 2 tahun, saya baru bisa ke luar rumah. Bersosialisasi, berkumpul sama teman. Jadi lebih bisa mengendalikan emosi,” ujar Yana.
Selain bantuan psikolog, dukungan orang-orang terdekat yakni suami, juga membantu proses pemulihan. Firmansyah bercerita, bukan hal mudah menghadapi istrinya ketika depresi.
Kunci menghadapi kondisi itu hanyalah kepekaan, kepedulian, dan kesabaran.
“Biasanya ibu yang depresi itu suka curhat. Dari curhat itu kita jangan bersikap cuek. Jadi harus luangkan waktu untuk bisa dengerin curhat istri, permasalahannya dimana, kalau bisa dikasih masukan,” terang Firmansyah.
Usai dinyatakan pulih dari depresi pasca melahirkan, Yana terdorong untuk membentuk komunitas demi memberikan dukungan sosial kepada para ibu dan keluarga yang mengalami masalah serupa. Komunitas itu bernama Mother Hope Indonesia.
Dia ingin para ibu tak merasa sendiri dan tak menganggap dirinya sebagai ibu yang gagal, buruk, atau jahat.
“Saya merasa selama mengalami depresi ini saya seperti sendirian, seperti orang yang terasing. Maksudnya apakah saya saja yang mengalami, ibu lain tidak? Jadi saya berpikir suatu ruang yang aman dan nyaman supaya ibu itu mau bercerita. Mau jujur dengan keadaannya jadi ibu itu bisa mencari bantuan segera ke psikolog atau psikiater,” tutur Yana.
Editor: Quinawaty
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!