HEADLINE

ILawNet Desak Jokowi Berikan Amnesti untuk Baiq Nuril

ILawNet Desak Jokowi Berikan Amnesti untuk Baiq Nuril

KBR, Jakarta - Internet Lawyer Network atau Ilawnet mendesak Presiden Joko Widodo memberikan amnesti untuk Baiq Nuril Maknun terkait kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dengan pertimbangan DPR. Desakan ini muncul sebagai salah satu jalan untuk membebaskan Baiq Nuril.

Sejumlah lembaga yang fokus pada penanganan hukum yang tergabung dalam Ilawnet menilai, putusan hakim Mahkamah Agung tidak tepat.

"Yang kami usulkan adalah amnesti. Amnesti itu adalah tindakan sepihak dari presiden untuk semacam mengampuni orang-orang baik yang telah, sedang, ataupun telah dibuktikan bersalah, sedang dalam persidangan. Atau misalnya dalam proses penyidikan," kata salah satu anggota Ilawnet, Anggara dalam diskusi di Kantor LBH Pers Jakarta Selatan, Jumat (16/11/2018).

"Dan dalam kasus amnesti maka Baiq Nuril tidak perlu ke Lapas," lanjut Anggara.

Berdasar Pasal 14 UUD 1945 dan UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi disebutkan bahwa presiden diberikan kewenangan untuk mengampuni orang-orang yang melakukan tindak pidana. Sebelum amandemen UUD 1945, kebijakan amnesti menjadi hak absolut presiden, namun ketentuan itu lantas diubah harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) dan DPR.

Baca juga: Baiq Nuril, Korban yang Jadi Terpidana

Anggara yang juga Direktur ICJR itu menjelaskan, putusan hakim MA dinilai tidak melihat duduk perkara secara utuh. "Dalam pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram, telah terbukti bahwa transmisi informasi elektronik berupa rekaman telepon bukan dilakukan Baiq Nuril," jelas dia.

Cacat lain putusan menurut Ketua Komnas Perempuan, Azriana Manalu, hakim MA tak mengacu pada ketentuan yang tertuang dalam Peraturan MA Nomor 03 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan.

Pada Pasal 2 Perma tersebut dijelaskan, hakim harus berpegang pada asas non-diskriminasi dan kesetaraan gender dalam mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum. Namun menurutnya ini tak hanya berlaku bagi hakim melainkan juga aparat penegak hukum.

"Jika MA benar-benar memperhatikan ketentuan ini, maka akan melihat kondisi yang sebenarnya secara utuh bahwa Baiq Nuril sebenarnya adalah korban pelecehan seksual yang semestinya diberikan perlindungan," tulis ILawNet dalam rilis yang diterima KBR.

Baiq Nuril merupakan korban pelecehan seksual yang divonis hakim MA pidana penjara 6 bulan dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Ia dijerat dengan pasal 27 ayat 1 UU ITE lantaran dianggap menyebarkan konten bermuatan pelanggaran kesusilaan.

Kasus ini bermula dari pelecehan seksual yang disebut dilakukan atasan Baiq Nuril yakni Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram. Kala itu Nuril bekerja sebagai staf guru honorer di sekolah tersebut. Ibu rumah tangga usia 40 tahun itu lantas merekam percakapan telepon bernada asusila terhadapnya. Rekaman itu yang kemudian diserahkan ke rekan kerja Baiq Nuril dan lantas tersebar.

Baca juga:

    <li><b><a href="https://kbr.id/nasional/06-2017/kasus_ite__ibu_baiq_nuril__saya_tidak_pernah_sebarkan_rekaman_seperti_tuduhan_jaksa/90657.html">Baiq Nuril: Saya Tidak Pernah Sebarkan Rekaman Seperti Tuduhan Jaksa</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="https://kbr.id/nusantara/08-2018/aktivis_korban_pelecehan_seksual_diperiksa_karena_tuduhan_pencemaran_nama/97026.html"><b>Aktivis Korban Pelecehan Seksual Justru Diperiksa Karena Dijerat Pencemaran Nama</b></a>&nbsp;<br>
    

Hakim PN Mataram sempat memvonis bebas lantaran bekas pegawai honorer itu tidak terbukti menyebarkan konten bermuatan pelanggaran kesusilaan. Tapi jaksa penuntut umum mengajukan banding hingga tingkat kasasi. Kemudian hakim MA mengabulkan kasasi dan Nuril divonis bersalah.

Kini Kuasa Hukum Baiq Nuril, Aziz Fauzi tengah mengupayakan langkah Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan MA. Tapi hingga kini, pihaknya belum menerima salinan putusan kasasi.

Jerat hukum yang justru menyeret korban kekerasan seksual ini menurut ILawNet akan berakibat pada ketakutan untuk bersuara. Berdasar pengalaman LBH Pers menangani kasus-kasus ITE yang berkaitan dengan korban pelecehan seksual misalnya, seringkali korban terpaksa memilih diam daripada mengungkap pengalamannya.

Hal tersebut dipilih karena penerapan UU ITE bukannya melindungi kepentingan korban namun sebaliknya, menyasar balik korban.

Terkait kasus pelecehan seksual, Direktur LBH Apik, Siti Mazuma mengungkapkan lembaganya mencatat ada 317 kasus sejak 2017. Sebanyak 39 kasus di antaranya korban memilih diam, karena kerap terkendala pembuktian.

Zuma menilai kasus Baiq Nuril ini merupakan contoh ketimpangan relasi kuasa, di mana pelaku menjabat sebagai kepala sekolah sedangkan Baiq Nuril selaku korban merupakan bawahannya--staf honorer.



Editor: Nurika Manan

  • Baiq Nuril
  • Koalisi Masyarakat Sipil
  • Nuril Baiq Maknun
  • UU ITE
  • korban UU ITE
  • ICJR

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!