BERITA

Ulama Syiah: Jangan Dendam, Balas Kejahatan dengan Kebaikan!

"KBR68H, Jakarta - Sejak Agustus tahun lalu, ratusan warga jamaah Ahlul Bait atau Syiah di Sampang Madura Jawa Timur terusir dari rumah mereka. Hidup berpindah-pindah tanpa perlindungan dan jaminan beribadah."

Guruh Dwi Riyanto

Ulama Syiah: Jangan Dendam, Balas Kejahatan dengan Kebaikan!
syiah, sunni, sampang

KBR68H, Jakarta - Sejak Agustus tahun lalu, ratusan warga jamaah Ahlul Bait atau Syiah di Sampang Madura Jawa Timur terusir dari rumah mereka. Hidup berpindah-pindah tanpa perlindungan dan jaminan beribadah. Bahkan dipaksa untuk bertobat dan berganti keyakinan.  Pertengahan bulan ini kita mendengar jamaah Syiah di Jawa Barat ditolak menggelar acara Asyura, untuk memperingati terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, Imam Husein.

Atas desakan dari kelompok intoleran, Kepolisian tidak memberi izin jamaah Syiah menggelar acara besar-besaran. Pekan lalu kita juga mendengar adanya ancaman penyerangan terhadap Pesantren dan Yayasan Rausyan Fikr di Sleman Yogyakarta karena dianggap beraliran dan menyebarkan pemikiran-pemikiran Syiah. Ancaman kemungkinan juga akan kembali muncul, menjelang peringatan Arbain, yaitu untuk memperingati 40 hari meninggalnya Imam Husein, pada bulan depan.

Abdullah Beik,Wakil Ketua Umum Ahlul Bait Indonesia (organisasi yang menaungi muslim Syiah) merasa heran dengan situasi akhir-akhir ini saja ketika masalah muncul. Abdullah Beik,Wakil Ketua Umum Ahlul Bait Indonesia mengatakan, Syiah dan Sunni sudah hidup damai berdampingan di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan.

“Syiah adalah bagian dari kaum muslimin Indonesia. Masuknya Islam ke Indonesia itu bebarengan, sebagian adalah Syiah dan sebagian Sunni. Di Indonesia, Syiah dan Sunni tidak terkotakkan. Sulit dibedakan, “ kata pria yang juga berprofesi sebagai pengajar tersebut dalam program Agama dan Masyarakat di KBR68H dan TempoTV, Rabu (27/11).

Kerukunan Sunni-Syiah juga terjalin dalam dunia internasional. Dalam organisasi OKI (Organisasi Kerjasma Islam) solidaritas persaudaraan muslim tidak mengenal perbedaan Sunni dan Syiah. “Ritual ibadah haji di mana semua kaum muslimin mendapat kesempatan untuk ibadah haji, begitu juga umroh, termasuk di dalamnya adalah Syiah,” contohnya.  Dwi Rubiyanti Kholifah, Direktur The Asian Muslim Action Network, mengamini hal itu. “Syiah adalah bagian dari Islam. Perbedaan hanyalah soal teknis bukan esensi menjadi muslim, “ paparnya.

Meskipun begitu, ada sedikit perbedaan yang menjadi ciri muslim Syiah. Hal ini menyangkut kepemimpinan atau imamah. Syiah memiliki seorang yang dianggap lebih tinggi dari yang lain dan disebut marjah’. Marjah ini berganti-ganti setiap generasi dan terus ada hingga sekarang untuk mewarisi visi Nabi Muhammad SAW. “Syiah banyak yang begitu. Syiah itu dalam banyak aliran dalam Islam punya spesifikasi setiap masa dia punya rujukan, seorang yang dianggap lebih dari yang lain,” ujar Beik. Beik menambahkan, pemimpin yang hidup itu menjadi rujukan bagi Syiah dalam menghadapi dinamika perubahan zaman. Sementara itu, mazhab Islam lain banyak mendasarkan pada kitab-kitab ulama terdahulu.

Beik beranggapan, perbedaan seperti itu tidaklah menjadi dasar menganggap kelompok lain kafir. Sebab, ia menyitir pernyataan Ayatullah Khomeini yang merupakan pemimpin spiritual Iran, bahwa siapa saja yang mengucap kalimat syahdat merupakan muslim. “Landasan agama Islam yang hakiki adalah Allah, hari akhir dan Muhammad,” katanya. Menurutnya, intoleransi muncul karena menganggap imam dan kitab-kitab tertentu yang merupakan landasan mazhab adalah landasan agama.

Abdullah Beik menilai, ada faktor lain yang memunculkan konflik Syiah-Sunni di Indonesia di luar perbedaan ritual. “Konflik tidaklah hanya disulut oleh Sunni-Syiah. Tidak juga karena pandangan teologis yang menyebabkan mereka berkonflik,” pungkasnya. Dwi Rubiyanti Kholifah, Direktur The Asian Muslim Action Network menilai faktor politik sebagai akar permasalahan Sunni-Syiah di Indonesia. Menurutnya, politik identitas di Indonesia semakin kuat setelah Orde Baru runtuh.
 
“Orang sangat bangga dan superior dengan identitas tertentu atau politik identitas, baru menguat setelah reformasi. Perasaan superioritas akan identitas dirinya sangat berbahaya, “ katanya memperingatkan. Selain itu, konflik Sunni-Syiah di Indonesia juga ditenggarai akibat faktor luar negeri. “Apa yang terjadi di belahan dunia lain dibawa-bawa sebagai ekspresi solidaritas tanpa melihat konteks kelokalan,” ujar Dwi Rubiyanti Kholifah.

Padahal, konflik Syiah-Sunni di kawasan Timur Tengah bisa jadi disebabkan oleh faktor politik. Ia menambahkan, faktor-faktor itu mendorong masyarakat menjadi keras dan bersikap intoleran. Ini ditambahparah karena pemerintah tidak tegas menjaga kebebasan beragama warga negara sebagaimana diatur dalam konstitusi.

Ia menekankan, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum juga mesti berani menjalankan konstitusi untuk menjamin kebebasan beragama dan mencegah diskriminasi. Ia mencontohkan pemerintah DKI Jakarta yang menolak pencopotan lurah Susan Jasmine karena beragama Kristen. Selain itu, di Cirebon, Kapolsek meskipun secara pribadi tidak sependapat dengan Ahmadiyah, tetap menjaga keamanan warga Ahmadiyah dari serangan massa intoleran. 

Dwi Rubiyanti Kholifah menyebut, solusi atas konflik Sunni-Syiah tidaklah sulit, cukup dengan menjalankan konstitusi. “Statemen SBY untuk tuntaskan soal Syiah Sampang mestinya dijalankan, bukan ditambahi syarat oleh Menteri Agama” katanya. Sebelumnya, Menteri Agama Suryadharma Ali memaksa warga Syiah Sampang membuat pernyataan berpindah keyakinan supaya bisa kembali ke kampung halamannya.  Ulama Syiah Abdullah Beik menambahkan, pemuka agama perlu berperan aktif agar menyebarkan kedamaian bagi umatnya.

“Khotbah Jumat harus terus sampaikan solidaritas persaudaraan muslimin,” kata ia mencontohkan. Selain itu, ia meminta agar umat beragama tidak mendaur ulang dendam. “Jangan balas kejahatan dengan kejahatan, balas kejahatan dengan kebaikan,” ujarnya.

Editor: Doddy Rosadi

  • syiah
  • sunni
  • sampang

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!