BERITA

Franz Magnis Suseno: Kita Jangan Mundur di Jalan Demokrasi

"Refleksi peringatan ulang tahun ke-69 Indonesia."

Sutami

Franz Magnis Suseno: Kita Jangan Mundur di Jalan Demokrasi
Franz Magnis, kemerdekaan, HUT Indonesi ke-69

KBR, Jakarta – Franz Magnis Suseno adalah seorang Indonesianis. Ia pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1961 lantaran trauma melihat komunisme terjadi di negara asalnya, Jerman Timur. 


Begitu datang ke Indonesia, ia memilih belajar filsafat, teologi dan mulai belajar bahasa Jawa di Yogyakarta. Ia pernah kembali ke Jerman untuk meraih gelar doktor, tapi ia kembali lagi ke Indonesia. Sekarang ia adalah dosen di Sekolah Tinggi FIlsfafat Driyarkara, dikenal sebagai pengamat sosial dan politik, tapi pejuang kemanusiaan. 


Frans Magnis sempat menggunakan nama aslinya selama berada di Indonesia, yaitu Franz Graf von Magnis. Di tahun 1977 ia menjadi warga negara Indonesia dan mulai menambahkan nama “Suseno” di belakang namanya. Ia kini dikenal sebagai cendekiawan intelektual yang bersahabat. 


Besok, Indonesia akan merayakan ulang tahunnya yang ke-69. Apa saja PR yang masih menanti Indonesia?


“Menurut saya pertanyaan ini bisa dijawab secara afirmatif. Dalam arti masyarakat madani meskipun punya segala macam masalah berat di masa lampau, namun sebenarnya sehat, positif, dan mempunyai harapan tangguh bagi masa depan. Tetapi kalau kita lihat masyarakat Indonesia, sebanyak 80-90 persen masyarakat Indonesia selalu mendukung negara yang didirikan oleh Soekarno-Hatta ini. Walaupun ada persoalan pluralisme, namun paling-paling hanya 10 persen persoalannya yaitu adanya kelompok radikal, mainstream dan kelompok yang berbeda... walaupun itu sebetulnya sebuah basis yang sulit untuk masa depan Indonesia.”

 

Apa yang Anda lihat dari masalah tersebut? Kenapa elit-elit kita banyak yang belum dewasa sampai saat ini? 


“Saya kira ada beberapa alasan. Ada orang yang memang katakan saja bekerja dengan pamrih, jadi mereka masuk ke arena politik juga semacam mencari proyek, itu bisa terjadi. Jadi daripada cita-cita menjadi politisi untuk memajukan bangsa, mendingan memajukan diri sendiri. Tapi ada juga masalah struktural umpamanya masalah korupsi, itu juga disebabkan bahwa menjadi politisi di negara ini luar biasa mahalnya.”

 

Kalau Anda punya masukan, perbaikan sistemnya bisa berjalan ke arah mana supaya Indonesia menjadi lebih baik untuk masa depan?


“Bagi saya ada kemajuan substansi demokrasi yang diciptakan melalui amandemen sampai tahun 2001 dan juga pemasukan nilai-nilai hak asasi manusia ke dalam Undang-undang Dasar kita, dan itu mutlak harus dipertahankan. Jadi kita jangan mundur di jalan demokrasi, jangan pernah mengizinkan hak asasi manusia itu dicairkan lagi. Kita kan tidak mau kembali ke masa dimana orang bisa ditembak begitu saja, ditahan begitu saja, dihancurkan begitu saja. Itu masa lampau. Seharusnya saat ini kita menjadi bangsa yang beradab,kita mempunyai nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Saya bukan ahli sistem politik, namun saya berpendapat bahwa presiden harus diberi lebih banyak kebebasan dalam bergerak.”

 

Anda sudah berada di Indonesia sejak tahun 1961, banyak rekaman yang Anda ingat dari masa ke masa?


“Bagi saya sebetulnya semua menarik luar biasa. Karena hidup di Indonesia terus menantang, memberi pengalaman yang baru. Tetapi yang saya lihat sebetulnya adalah antara sekian banyak perkembangan yang bagi saya penting, yaitu yang menyangkut demokrasi, dan yang lain menyangkut soal agama.”


“Yang menyangkut demokrasi sebetulnya sejak ada tulisan pertama seorang Mohammad Hatta muda tahun 1920-an,  di Indonesia selalu ada yang ingin demokrasi yang penuh, bukan setengah-setengah. Sekarang kita punya demokrasi seperti yang tadi saya katakan belum sempurna. Tahun 1998 syukur Pak Habibie menanggapi itu dengan bagus, terjadi konsensus bahwa Indonesia harus menjadi negara demokrasi dan pelanggaran hak asasi manusia tidak diizinkan lagi. Ini bagi saya sebuah perkembangan luar biasa sehingga almarhum Nurcholis Majid yang mengatakan bahwa perlu diperhatikan demokrasi dan mengandaikan budaya demokratis tentu akan butuh 20 tahun.


“Kedua, menyangkut agama. Sekarang kita diributkan dengan masalah  ISIS, radikalisme, intoleransi. Tapi kita harus melihatnya secara proporsional, kebebasan beragama di Indonesia menurut saya masih prima bukan 10 tetapi saat ini pada angka 9 barangkali. Misalnya umat saya Katolik, 95 persen umat Katolik di daerah mayoritas bisa hidup dengan agama dan bisa berkomunikasi, beribadat dengan bebas tanpa kesulitan apapun tanpa tekanan.”


“Jadi jika ada gangguan, jangan sampai menjadi-jadi, tetapi kita juga jangan mengatakan bahwa situasi itu jelek. Kedua,  saya juga menyaksikan sendiri sekarang hubungan antara agama-agama katakan saja saya orang Katolik, tokoh Katolik, uskup dengan tokoh agama mayoritas Islam ulama, Kyai,  hubungannya saat ini jauh lebih baik dan akrab daripada 50 tahun yang lalu. Itu menjadi perkembangan yang baik yang sudah dimulai tahun 70-an oleh orang-orang seperti seperti Cak Nur, Gus Dur yang sangat membantu. Sekarang kalau kami punya masalah di basis ya kami bisa ke NU


Contohnya seperti apa ketika zaman dulu dan saat sekarang yang lebih baik?


“Zaman dulu saya mengalami dikotomi yang tidak pernah saya terima. Tetapi menjadi wacana sejak tahun 1945 karena juga sedikit sesuai kepartaian antara nasionalis dan Islam. Padahal Islam misalnya Masyumi dan NU itu nasionalis juga, kebanyakan nasionalis itu orang Islam juga. Di tahun 50-an waktu Indonesia dipimpin orang-orang Masyumi misalnya, pemerintahnya tidak kalah kualitasnya daripada pemerintah dengan lain-lain dan kaum minoritas juga tidak mengalami penderitaan apapun. Saya ingat sesudah pemboman di Bali tahun 2002 yang membuat bangsa sadar bahwa Indonesia mempunyai masalah terorisme. Hasyim Muzadi mendirikan sebuah forum nasional mengundang Romo Kardinal, Nathan Setyabudi, dari Hindu dan Budha membentuk forum membicarakan masalah bangsa tahun 2004 atau 2003. Hal seperti itu terjadi terus menerus, Pak Din Syamsudin punya kelompok antarumat beragama yang sering bertemu. Ini sebuah kemajuan yang luar biasa.

 

Perasaannya waktu itu bagaimana ketika ada dikotomi seperti itu? Sampai menghambat aktivitas Anda?


Saya waktu itu masih tahun 1961 saya baru belajar bahasa Jawa dan belajar bahasa Indonesia. Saya belum ditahbis menjadi imam Katolik. Waktu itu di hati saya bukan dikotomi, di hati saya ketakutan terhadap komunis. Saya takut betul, saya datang ke Indonesia, saya berasal dari Jerman Timur dimana semua orang Jerman diusir sekitar 12 juta orang ke Jerman Barat. Keluarga saya mengungsi, kami semua ketakutan terhadap komunis. Saya datang ke sini dan melihat PKI dimana-mana. Itu yang menjadi ketakutan saya, waktu itu misalnya partai Katolik yang bekerja sama erat dengan HMI dan Masyumi dilarang waktu itu. Jadi sebetulnya saya sendiri tidak pernah hidup di dalam dikotomi ini tapi dalam pemilihan politik saya merasa itu salah. Soeharto memakai kartu itu, Islam politik disingkirkan, padahal Islam politik Indonesia itu Islam politik NKRI juga.

  

Apa pesan buat bangsa Indonesia terutama elit politik?


“Saya mengharapkan dari elit bahwa mereka sendiri berusaha membongkar faktor-faktor yang membuat elit tergoda korupsi dan sebagainya. Karena saya anggap korupsi ancaman terbesar terhadap demokrasi. Saya juga mengharapkan bahwa mereka percaya kepada kebijaksanaan bahkan hati nurani masyarakat. Itu sudah terbukti puluhan tahun dan kita tidak perlu takut bahwa demokrasi dan hormat pada harkat kemanusiaan itu mengancam negara. Jadi semoga elit politik berani meneruskan demokrasi kita dengan menghormati manusia, menjamin kebebasan, menciptakan keadilan dan kesejahteraan.


  • Franz Magnis
  • kemerdekaan
  • HUT Indonesi ke-69

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!