BERITA

Walhi: Adipura Sudah Menjadi Simbol Pencitraan Belaka

"KBR68H, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan tertinggi untuk kebersihan lingkungan berupa Piala Adipura Kencana kepada tujuh kota."

Doddy Rosadi

Walhi: Adipura Sudah Menjadi Simbol Pencitraan Belaka
walhi, adipura, 2013, kota surabaya, kementerian lingkungan hidup

KBR68H, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan tertinggi untuk kebersihan lingkungan berupa Piala Adipura Kencana kepada tujuh kota. Kota metropolitan yang berhasil menyabet Piala Adipura Kencana adalah Kota Surabaya, Jawa Timur dan Kota Tangerang di Provinsi Banten. Kedua kota Metropolitan ini menyabet predikat Kota Terbersih. Layakkah kota-kota tersebut meraih Adipura? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Novri Lifinus dengan Kepala Departemen Jaringan dan Pengembangan Sumber Daya, Walhi dalam program Sarapa Pagi.

Kalau melihat evaluasi penghargaan Adipura, anda melihat sebetulnya kota-kota itu layak tidak?

Saya tidak mau terjebak dengan layak atau tidak. Karena sebenarnya beberapa organisasi lingkungan sudah cukup lama menyuarakan terkait pemberian Adipura ini adalah bagaimana me-review kriteria penilaian terhadap kota-kota yang menerima Adipura. Contoh di Jakarta yang menerima empat dan prestasi nasional, kalau kita lihat masih banyak sekali bolong-bolongnya. Kemudian Palembang, kita tahu kasus di sana justru kota ini hampir tidak memiliki Ruang Terbuka Hijau sebagai salah satu kebutuhan akan kualitas lingkungan yang baik di satu kota dan ini belum dilakukan. Sehingga jadi seperti obral piala Adipura, ada 149 kabupaten/kota di Indonesia dan kriterianya menurut kami belum menyentuh pada akar persoalan lingkungan hidup yang sebenarnya. Ini yang mesti dilihat dan kami minta di-review, tidak ada salahnya misalnya satu tahun tidak mengobral Adipura tapi ke depan kualitas pemberian Adipura lebih baik.

Maksudnya diperketat?

Betul, sebenarnya variabel penilaian juga harusnya ditambah.

Kalau menurut anda bolongnya dari penilaian itu ada jual beli gelar atau bagaimana?
 
Kalau jual beli gelar itu pernah terungkap pada Kabupaten Bekasi pada waktu itu yang ada dugaan korupsi. Itu kami lihat di kepala pemerintahan daerah Adipura bukan sebagai sebuah dorongan penyemangat untuk peningkatan kualitas pengelolaan dan perlindungan lingkungan, tapi sebagai pencitraan saja. Akhirnya terjadi seperti itu, ini yang menurut kami mesti dievaluasi kriterianya dan seringkali justru tidak ada urusannya dengan izin-izin yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Biasanya demi Adipura yang digusur-gusur itu PKL, harus bersih dari orang-orang miskin dengan alasan kenyamanan dan keindahan kota tapi lupa bahwa harusnya ada jalan keluar dari berbagai persoalan yang terjadi pada warga. Lucunya seringkali justru piala Adipura yang didapat oleh suatu kota diprotes oleh warganya. Ini yang menurut kami keterlibatan publik bagaimana dalam penilaian kota, menurut kami ada baiknya publik dilibatkan secara masif sehingga kepemilikannya benar-benar, justru di publiklah pengawasan itu dapat berjalan dengan baik.

Kalau untuk Adipura memang kriterianya sudah mulai ditingkatkan. Anda melihat perlu tambahan apa lagi untuk kriteria Adipura ini?

Kalau bicara soal lingkungan itu kompleks dan harusnya dia cross cutting pada semua isu lingkungan. Jadi selain bicara soal infrastruktur sarana perkotaan, kalau menurut kami yang penting sebenarnya melihat pada izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Misalnya izin pembangunan terutama, bagaimana pemerintah daerah yang melakukan pemutihan terhadap tata ruangnya untuk pembangunan pusat perbelanjaan yang itu berada di Ruang Terbuka Hijau. Itu harusnya masuk dalam kriteria sejauh mana pemerintah daerah punya political will untuk mengelola lingkungan hidup di kotanya. Kalau dia bagus di sarana transportasi atau perumahan, tapi dia terus mengeluarkan izin untuk mengambil Ruang Terbuka Hijau yang jadi sumber air dan seterusnya. Itu sama saja satu sisi dia melakukan perbaikan lingkungan tapi di sisi lain dia melakukan pengrusakan. Misalnya di beberapa kota problem lingkungannya bukan sampah tapi tambang, di Samarinda itu tambang batubara terus bagaimana kriteria penilaian itu. Karena dia bukan hanya menambang, ketika dia menambang mengambil sumber air mencemari lingkungan, itu tidak terpantau dalam kriteria penilaian. Satu hal lagi sebenarnya yang kita lihat katanya ini semacam reward tapi di sisi lain punishment tidak pernah berlaku. Bukan cuma itu misalnya penegakan hukum lingkungan terhadap bagaimana pemerintah daerah yang mengobral izin-izin yang menyerobot Ruang Terbuka Hijau itu bagaimana. Itu yang menurut kami harusnya bisa lebih fundamental, karena kita lihat sudah hilang maknanya dari tujuan utama pemberian Adipura. Jadi kenapa kita tidak evaluasi dulu kriteria penilaiannya karena itu pernah kejadian di tahun 2002 sempat moratorium penghargaan ini, tujuannya meningkatkan kualitas. Ini juga yang menurut kami tim penilainya sendiri mesti kita ingatkan karena ternyata mereka belum menjalankan Undang-undang No. 32 Tahun 2009.     

  • walhi
  • adipura
  • 2013
  • kota surabaya
  • kementerian lingkungan hidup

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!