KBR, Bondowoso– Petani kopi yang tergabung dalam klaster Kopi Arabika Java Ijen Raung memprotes tingginya nilai bagi hasil panen kopi dengan Perum Perhutani. Ketua Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI) Bondowoso, Yusriadi menilai, setoran bagi hasil sebesar 30% dianggap memberatkan bagi petani.
Saat ini 99% lahan kopi yang dikelola petani di Bondowoso tersebar di lahan milik Perhutani.
“Memang sudah banyak petani yang mengeluhkan masalah beratnya setoran yang 30% itu. Saya sudah komunikasi dengan Perhutani, katanya itu sudah aturan. Ya gimana lagi. Tapi kami minta ada kebijakan lain dan dalam waktu dekat ada rencana untuk diskusi dengan administratur,” kata Yusriadi kepada KBR, Rabu (5/10/2016).
Kata Yusri, munculnya keluhan dari para petani ini juga tak lepas dari gagalnya panen kopi robusta tahun ini. Kondisi iklim yang kurang baik, turut menjadi penyebab produktifitas kopi menurun dibanding tahun sebelumnya. Dia berharap Perhutani bisa lebih fleksibel saat menentukan besaran bagi hasil.
Menurut Yusri, rencana pertemuan untuk pembahasan bagi hasil kopi murni inisiatif APEKI dan tanpa campur tangan Pemkab. Ini dilakukan seiring banyaknya keluhan yang diterima Yusri sebagai ketua APEKI yang mewadahi sejumlah petani di Klaster Java Ijen Raung.
“Tapi saya juga tidak bisa hanya berpihak ke petani. APEKI mau mencari win–win solution yang juga bisa diterima Perhutani,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Sumber Daya Hutan KPH Bondowoso, Enny Handayani mengungkapkan, bagi hasil sebesar 1/3 atau 30% dari panen bukan tahun ini saja. Menurut dia, hal tersebut diatur dalam buku Merah Putih tahun 1990 dengan Surat Keputusan Direksi No. 051.5/DIR tanggal 17 April 1990 tentang petunjuk pelaksanaan kopi hutan.
“Dari zaman nenek moyang bagi hasil memang 30%. Kalau di bawah itu atau di atas itu dipastikan ilegal dan tidak masuk ke Perhutani. Ini saya buka saja sekarang, 30% itu juga kadang tidak disetor sama petani ke kita,” kata Enny Handayani saat berbincang dengan KBR.
Enny memaparkan, tahun ini seharusnya setoran bagi hasil dari petani ke Perhutani mencapai 700 ton kopi. Namun faktanya, yang terkumpul tak sampai 100 ton kopi. Hal ini juga terjadi pada tahun – tahun sebelumnya saat Perhutani tak mampu memenuhi target setoran kopi yang keluar dari hutan.
“Kita ini sampai dianggap seperti preman. Petani sering bertanya apa Perhutani ikut menanam? Kok Perhutani minta 30%. Padahal setoran itu untuk membayar pajak dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Jadi tidak murni masuk ke Perhutani,” jelas Enny.
Catatan Perhutani menyebut, setidaknya ada 7.000 hektar tanaman kopi yang berada di lahan Perhutani. Dari 7.000 hektar tersebut dilegalkan untuk diambil setoran bagi hasil oleh Perhutani.
Saat disinggung adanya kemungkinan setoran tersebut turun, Enny enggan berandai – andai. Menurut dia, angka 30% sejatinya bukanlah angka yang memberatkan jika dilihat dari tingginya produktifitas kopi Bondowoso dalam beberapa tahun terakhir.
“Sekarang kita lihat produktifitasnya berdasar hasil kajian Puslitkoka 1 pohon bisa menghasilkan 10 kg. Kalau masyarakat yang tanam hitung saja 1 pohon kopi bisa menghasilkan 5 kg. Kita cuma minta setengah kilo saja,” pungkasnya.
Hasil penelusuran KBR di sentra penghasil kopi di Kecamatan Sumber Wringin menunjukkan masih banyak petani yang merasa keberatan dengan besarnya angka bagi hasil dengan Perhutani. Segelintir petani bahkan mengaku pernah membayar bagi hasil hingga 50% kepada Perhutani.
Editor: Rony Sitanggang