HEADLINE

Hanif: Buruh Jangan Perjuangkan Upah Minimum, tapi Upah Layak

"Serikat pekerja menurut Menteri Hanif, seharusnya memperjuangkan upah layak."

Agus Lukman

Hanif: Buruh Jangan Perjuangkan Upah Minimum, tapi Upah Layak
Aliansi buruh bentangkan spanduk penolakan PP Pengupahan, Selasa (27/10) (Foto: Bambang Hari/KBR)

KBR, Jakarta- Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menegaskan penetapan upah minimum merupakan kewenangan pemerintah, dan bukan kewenangan dewan pengupahan. Wewenang ini merupakan amanat Undang-undang Ketenagakerjaan dan PP Pengupahan Nomor 78 tahun 2015. Hanif mengatakan upah minimum harus dikembalikan sebagai jaring pengaman, dan bukan upah utama. Hanif meminta agar buruh lebih memperjuangkan upah layak di forum perundingan bipartit dengan perusahaan dibanding upah minimum.

"Kalau perundingan itu di perusahaan. Kalau soal upah perundingannya di perusahaannya. Pemerintah kan kasih perlindungan untuk upah minimumnya. Nah selebihnya, itu menjadi peran SP (serikat pekerja-red). Peran SP itu jangan memperjuangkan upah minimum, tapi memperjuangkan upah layak melalui perundingan bipartit. Jangan terbalik. Upah minimum itu jaring pengaman, bukan upah utama. Makanya agar tercapai upah utama, di situlah peran SP untuk berunding," ujarnya kepada KBR, Senin (27/10).


Sementara itu, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menghitung laju pertumbuhan upah minimum akan melambat setidaknya 35 persen. Dengan rumusan kenaikan upah baru itu, KPBI menghitung kenaikan UMP hanya mencapai 8,5 persen untuk tahun depan. Atau kenaikan upah rata-rata di 33 provinsi hanya mencapai Rp 128.029,. Padahal, UMP 2015 secara nasional tumbuh 13 persen dibanding UMP 2014. Jadi buruh memperkirakan kerugian upah sekitar 3,5 persen akibat PP Pengupahan ini.

Editor: Dimas Rizky

  • Buruh
  • upah buruh
  • PP pengupahan
  • Demo
  • Tolak
  • Hanif Dhakiri

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!