HEADLINE

EKSKLUSIF: Wawancara KBR Bersama Tom Iljas

Tom Iljas.

KBR, Jakarta - Berziarah, bagi Tom Iljas, warga negara Swedia berdarah Indonesia bukanlah hal mudah. Pria usia 77 itu baru saja dideportasi. Namanya masuk daftar tangkal Kementerian Hukum dan HAM karena pekan lalu berziarah ke makam orangtuanya. Ia dan rombongannya dituduh membuat film mengenai korban 1965, kemudian ditangkap dan diinterogasi polisi.  Kepada reporter KBR, Nurika Manan, Tom Iljas ceritakan kronologi pengusiran itu melalui sambungan telepon dari Singapura.

Bisa Anda jelaskan kronologis sebelum pengusiran Anda dari Sumatera Barat?

Saya datang ke Sumatera Barat, di Padang pada malam 11 Oktober. Saya pulang kampung karena sudah lama tidak pulang. Ingin menengok rumah orangtua, ziarah ke makam ibu dan makam ayah, bukan makam, tepatnya kuburan. Sebelum memutuskan pulang, saya kebetulan berhasil berhubungan dengan dua orang yang tahu lokasi kuburan massal di Bukit Gulai. Di sana ada sekitar 41 orang yang dikubur termasuk ayah saya. Salah satunya adalah yang punya tanah di mana kuburan massal itu berada. Satu orang lagi yang juga setahanan sebelum ayah saya dibunuh. Usia kedua orang ini sudah 80 tahun lebih. Melalui kedua orang ini, saya ingin mengidentifikasi tempat kuburan ayah saya. Untuk itu saya pulang.

Apa yang Anda lakukan saat tiba?

Setelah sampai di kampung Salido, saya menengok rumah orangtua. Kemudian menjenguk makam ibu. Sorenya mencari kuburan ayah. Mereka tahu betul peristiwa saat ayah saya dibawa untuk dieksekusi. Sekitar pukul 16.00 WIB, dengan dipandu dua orang ini ke lokasi yang namanya Bukit Kulai. Tetapi ternyata di situ sudah ada warung. Rupanya tanah itu sudah dijual ke adiknya dan dibuat warung. Sebagian kuburan massal itu berada di bawah warung nasi di mana supir truk besar kerap beristirahat. Karena sudah milik orang, saya minta izin. Tetapi oleh pemilik tanah kita tidak diizinkan untuk ke lokasi kuburan massal. Lalu kami izin ke kepala kampung. Kepala kampung juga tidak mengizinkan tanpa alasan. Bahkan saya mengulurkan tangan untuk bersalaman, dia tidak mau. Saya tanya nama, dia pun tidak menjawab. Setelah itu, saya sempat dilingkari pemuda, ternyata intel Polisi sekitar 10 orang. Mereka memotret kita masing-masing dengan handphone. Saya tahu mereka intelijen, karena mereka yang menginterogasi saya di kantor Polisi. Kita Pergi.

Lalu kami di hadang dengan mobil. Pengemudinya berpakaian preman. Kunci mobil kita di ambil dan kita digelandang ke kantor polisi. Kita diinterogasi, digeledah, dibentak-bentak sampai datang orang LBH datang, juga Komnas HAM Padang, polisi sedikit sopan. Sebelumnya mereka berlaku seperti zaman pak Harto (Soeharto, Presiden ke dua RI) saja.

Perlakuan semacam apa yang Anda terima?

Kami dinterogasi, bahkan gelas di meja di banting. Kita tidak bisa berbuat apa. Semua barang digeledah, tas dibuka, mobil digledah.

Apa yang saat itu dicari Polisi?

Mereka menuduh saya membawa kru dokumentasi tentang G30S. Itu tidak benar! Kalau toh dituduh demikian, itu belum terjadi. Masuk saja belum ke kuburan. Kita sudah diusir, kamera tidak ada yang dibuka. Tetapi kalau saya mau berfoto, itu benar. Karena saya mau mengidentifikasi tempat itu, sehingga nanti anak saya bisa temui tempat itu. Menurut saya, foto adalah cara paling baik untuk identifikasi kuburan. Atas tuduhan itu lah saya dideportasi setelah diketahui tidak ada tindakan pidana.


Alasan deportasi?

Saya tidak tahu. Saya kira orang datang ke Indonesia untuk mengambil foto boleh saja. Tetapi sebagai korban saya punya hak untuk mengetahui sejarah ayah saya. Tetapi menurut imigrasi saya menyalahi visa turis, tetapi tidak spesifik.


Tindakan macam ini apakah sama dengan puluhan tahun ketika Anda tak diizinkan kembali ke Indonesia dari Tiongkok?

Memang saya dikirim pemerintah ke Tiongkok. Tetapi karena ada peristiwa G30S, saya tidak bisa pulang. Kemudian paspor saya dicabut.


Bisa diceritakan soal itu?

Tahun 60-an, saya lulus SMA. Kebetulan pada 1958, pada tingkat akhir SMA ada pemberontakan PRRI/Permesta. Di mana mereka menentang pemerintahan Soekarno. Saya menentang itu bersama teman-teman. Setelah gerakan ini dikalahkan, saya dapat rekomendasi melanjutkan pendidikan ke luar negeri dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Berdasarkan rekomendasi itu, saya melanjutkan studi di Beijing untuk belajar selama 5 tahun, termasuk belajar bahasa. Saya ambil mekanisasi pertanian. Sampai saya selesai, terjadi G30S. Kemudian paspor saya dinyatakan tidak berlaku oleh KBRI. Sejak itu saya tidak punya kewarganegaraan. Kemudian saya masuk Swedia meminta perlindungan politik dan mengambil kewarganegaraan. Dari hasil pendidikan yang saya terima dengan biaya pemerintah RI, tetapi malah pemerintah Swedia yang memanfaatkan selama 30 tahun. Saya bekerja sebagai insinyur.


Anda masih bekerja?

Saya sudah pensiun. Dari sebuah perusahaan besar Scania. Bus yang sekarang digunakan Ahok (Basuki Tjaha Purnama, Gubernur DKI Jakarta). Karena pensiun itu saya bisa pulang, nengok keluarga ayah-ibu.


Peristiwa berdarah 65 sudah 50 tahun lewat, lantas harapan Anda apa?

Saya pernah menyampaikan ke Hamid Awaluddin (Duta Besar, juga Menkumham Kabinet Indonesia Bersatu) soal nasib WNI di luar negeri yang terlunta-lunta. Setidaknya pemerintah minta maaf kepada ribuan orang karena telah membuat hidup mereka tidak karuan. Itu harus dianulir dengan kebijakan pemerintah. Mereka tidak salah. Lalu, pelanggaran HAM berat 65 itu diselesaikan. Dengan cara apa, terserah pemerintah.


Anda tahu komitmen Presiden Jokowi soal ini?

Pada kampanye, Jokowi pernah mau menyelesaikan itu. Ini sudah setahun berlalu, tidak berbuat apa-apa. Ungkap kebenaran, yang salah dinyatakan salah. Kalau bisa ada Pengadilan HAM, kemudian rekonsiliasi. Tidak hanya salam-salam, itu namanya rekonsiliasi halal bihalal. Itu tidak ada manfaatnya pada korban dan harus ada resikonya bagi jagal. Utamanya adalah harus ada pengungkapan kebenaran.


Anda ingin kembali ke Indonesia?

Tentu ada keinginan. Tetapi sekarang sudah terlambat. Dulu keinginan itu kuat, tetapi setelah pensiun tidak ada yang bisa saya sumbangkan untuk Indonesia. Nanti jadi beban saja. Tetapi ini kan sekunder, masalah pokok seperti Pak Harto mencabuti paspor orang itu kan salah, melanggar HAM. Itu harus dikoreksi dengan kebijakan baru, apakah bentuknya Perpres atau keputusan DPR, apa saja yang bisa menganulir keputusan itu. Jadi apakah orangtua itu mau pulang atau tidak itu pilihan.


Sangat sayang ya Anda tidak bisa mengaplikasikan ilmu Anda di pertanian Indonesia?

Hahaha, masalah yang paling pokok itu di pertanian Indonesia itu bukan ilmu yang saya pelajari saat di Tiongkok. Sekarang ini masalah tanah. Banyak tanah dimonopoli perusahan besar, padahal itu tanah ulayat. Masalah pokok adalah penyelesaian agraria. Tanpa itu kita tidak mungkin berdikari sandang-pangan. Sebab tanahnya sendiri tidak ada, diambil perusahaan untuk kelapa sawit. Bukan lagi soal mekanisasi pertanian yang saya pelajari.

Editor: Damar Fery Ardiyan 

  


 

  • korban 1965
  • Pelanggaran HAM 1965
  • G30S
  • korban G30S
  • Toleransi
  • komunisme
  • padang
  • petatoleransi_31Sumatera Barat_merah
  • tragedi 65
  • tragedi65
  • korban tragedi 65
  • korban pelanggaran ham 65/66
  • pelanggaran HAM berat

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!